Saturday, November 8, 2014

Chocolate Wafer Stick part 1_Ananda

T Princessilya T
            Entah sudah berapa kali aku menguap pagi ini, rasanya tadi malam aku terjaga lama sekali, aku sendiri heran kenapa tidak bisa tidur.
“Menguap terus? Tidak tidur semalam?”, tegur Andika seraya duduk di sampingku.
“Tidur, tapi tidak lelap, mungkin tidak ada satu jam!”, jawabku yakin, Andika mengeluarkan sebotol air mineral dan memberikannya padaku.
“Minum dulu, supaya fresh, kalau masih mengantuk sebaiknya kamu ke UKS!”, saran Andika, aku diam lalu meneguk air mineral dari Andika
“Pagi Silly!”, sapa Puput seraya meletakkan satu boks wafer stick coklat pesananku.
Setiap hari aku selalu mendapatkan wafer stick coklat dari Puput, orang tuanya memiliki toko coklat yang di produksi sendiri, dan aku selalu memesan satu boks setiap pagi. Aku merasa hampa andaikan hidup tanpa wafer stick coklat. Pernah suatu hari, keluarga Puput keluar kota dan toko mereka tutup, dan aku harus mencari wafer stick coklat dengan produsen yang sama, tapi sangat susah, sehingga berakhir dengan stress.
“Terima kasih, rasanya aku kembali fresh tidak mengantuk lagi!”, sahutku senang
“Memangnya kemana semalam? Tumben mengantuk di pagi hari?”, heran Puput, aku hanya menggeleng pelan.
“Aku akan istirahat di UKS, hingga jam pelajaran kedua dimulai!”, kataku pelan
“Itu lebih baik daripada kamu pingsan!”, sahut Andika seraya bangkit dan keluar kelas untuk kembali ke kelasnya.
“Dia sangat baik padamu, sejak dulu. Sudah dua tahun berlalu!”, aku tak menyahut perkataan Puput, lebih tepatnya aku menolak mendengar dan membahasnya.
Istirahat sekolah aku langsung menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka dan kembali ke kelas, untuk mengikuti pelajaran kedua.
“Darimana Silly? Kak Radit mencarimu!”, kata Surya saat aku hendak masuk kelas
“UKS, kenapa kak Radit mencariku? Bukankah tugas kesenianku sudah clear minggu lalu?!”, heranku seraya masuk kelas dan keluar lagi untuk menemui kak Radit di ruang guru.
Kak Radit adalah guru kesenian baru, dia mulai mengajar di tahun ajaran baru, dia masih muda dan berbakat, dia selalu menolak untuk dipanggil Pak, jadi semua anak memanggilnya kakak, dia masih kuliah, dan mengajar disini, mungkin aneh kalau dia bisa menjadi guru padahal masih kuliah.
“Tadi mencari saya? Ada perlu apa Kak?”, tanyaku penasaran
“Tidak kok, hanya penasaran kenapa kamu tidak masuk kelas!”, jawab Kak Radit seraya menyerahkan sebuah buku besar padaku. “Ambilah buku itu, hadiah dariku, di ulang tahunmu”
Aku kaget mendengarnya, tahu dari mana dia ulang tahunku, dan kenapa dia peduli dengan ulang tahun muridnya? Heranku.
“Em, terima kasih kak, saya akan kembali dulu, permisi!”, kataku dan beranjak dari ruang guru. Kubuka perlahan buku dari kak Radit. Isinya kumpulan lukisan dan sangat indah. Lama aku membuka tiap halaman lukisan di buku tersebut, aku tersadar, semua lukisan yang ada, adalah lukisanku.
“Tunggu, kenapa ini semua karyaku? Bagaimana kak Radit punya ini semua?”, heranku seraya kembali membuka halaman buku, “Kakak!”, kataku pelan saat aku membuka halaman terakhir, lukisan yang kulukis bersama Kakakku, dadaku tiba-tiba terasa sesak.
Rangga Praditya, adalah nama Kakak sekaligus kekasih pertama yang kumilki. Hubungan kami yang hanya berjalan enam bulan, kami telah putus dua tahun lalu di akhir tahun kelas satu, Kak Rangga sudah meninggal dunia, usai kecelakaan pesawat yang akan membawanya pergi ke Amerika untuk kuliah disana. Lebih tepatnya hilang tanpa kabar, dan semuanya mengatakan Kakak sudah pergi. 


Mama dan Papa juga ikut menghilang usai kecelakaan tersebut. Kenangan indah bersama kak Rangga kembali berputar di kepalaku, kak Rangga-lah yang mengenalkanku dengan coklat, wafer stick coklat yang selalu kami konsumsi setiap hari. Setiap gigitan coklat, selalu memberikan semangat hidup untukku, semangat yang diberikan kak Rangga padaku sejak aku mencintainya. Usai perpisahanku dengan kak Rangga, aku tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun, tak bisa mengenal orang sebaik kak Rangga, aku masih mencintai dia dan belum ingin mengganti dengan orang lain.
Rangga Praditya and Princessilya in Memory

            Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah di Sma, masa mos yang seru. Dengan pelan aku masuk kelasku, kosong, sepi, semua anak masih sibuk dengan kegiatan yang akan diadakan di puncak mos. Ada satu boks wafer stick coklat di meja yang biasa aku tempati, aku menoleh ke kanan kiri mencari tahu pemilik wafer tersebut.
“Dek, tolong ambilkan wafer stick coklat di depanmu!”, seru seseorang, aku menoleh, kakak kelasku berdiri di jendela kelas seraya menunjuk ke arah wafer di depanku. Aku menatap wafer dan kakak kelasku bergantian, jarang sekali ada cowok makan wafer stick coklat, ah mungkin untuk acara mos nanti, pikirku. Aku menyerahkan wafer padanya.
“Heran ya? Kamu bukan orang pertama yang heran dengan kebiasaanku”, sahutnya seraya berlalu meninggalkan aku. Lucu dan aneh, pikirku.
Hari kedua mos, materi mos cukup lama, waktu istirahat aku langsung menuju ke kantin untuk melepas lelah.
“Gila! loe doyan apa nafsu Dit?”, pekik seseorang, aku menoleh ke meja sebelahku, kakak stick coklat sedang menikmati stick coklatnya dengan semangat seolah belum makan seharian.
“Gue laper dan lelah, cuma coklat ini yang buat gue semangat!”, jawab kakak coklat stick tersebut, aku tersenyum melihat semangat dia melahap tiap stick coklat. Tanpa sadar kakak tersebut juga memandangku, aku bergegas mengalihkan pandangan.
Tertangkap basah!
“Kamu mau? Ambil saja, sehat kok!”, ucapnya seraya duduk di depanku, “Aku selalu makan stick coklat kalau sendirian dan di saat butuh coklat!”, ia menyodorkan boks stick coklat padaku.
“Kemarin makasih ya, aku mencarinya ternyata tertinggal di kelas kamu. Kenalkan namaku Adit, kamu?”, lanjutnya dengan senyum, kakak yang periang
“Aku Silly, doyan banget ya sama coklat?”, tanyaku
“Ngga semua coklat dan ngga semua stick coklat aku suka. Hanya dari produsen ini, coklatnya asli dan diproduksi dengan alami, sehat pula bagi kesehatan!”, jelasnya senang
“Apa ngga malu Kak? Menenteng stick coklat kemana-mana?”, heranku
“Ngga, tidak melanggar peraturan kan!”, jawabnya tanpa ragu dan tersenyum, aku hanya tertawa kecil. Tiba-tiba bel berdering, aku bangkit untuk kembali ke kelas, untuk materi selanjutnya, “Sebagai ucapan terima kasih, harus diterima!”, kak Adit meninggalkan tiga buah stick coklat di meja dan berlalu.

0 comments:

Post a Comment