Langit
mulai gelap, namun aku masih duduk di depan pintu rumah, tidak menunggu
siapapun, hanya ingin melihat kelinciku yang menolak untuk ku masukkan kandang.
Setiap pagi dan sore aku selalu merawat kelinci, dulu aku melakukannya dengan
Kak Stevan, tapi sekarang hanya aku sendiri, meskipun dirumah ada pelayan,
kedua orangtuaku menghimbau untuk tidak meminta bantuan pada pelayan selama aku
bisa melakukannya sendiri.
“Hime,
lekas masuk rumah! Apa yang kamu lakukan disana?!”, Tegur Mama, “Kelincinya
akan masuk kandang sendiri, nanti biar pelayan yang mengurusnya!”
“Iya
Mama!”, aku bangkit dan masuk rumah, Mama menatapku dengan tatapan marah.
Usai
mandi yang menghabiskan waktu hampir satu jam, Mama mengajakku untuk sholat
berjamaah dengan Papa yang sudah pulang kerja.
Papaku
seorang pebisnis, Papa melanjutkan bisnis Kakek dan Nenekku yang sekarang
berhenti bekerja dan tinggal di Rusia, negara asal Nenek. Keseharian Papa
disibukkan di kantor perusahaan, berbeda dengan Mamaku yang seorang dokter,
beliau selalu sibuk di rumah sakit, sudah pasti.
“Bagaimana
sekolah barunya?”, tanya Papa usai sholat maghrib, aku hanya menggeleng pelan,
tidak suka dengan sekolah baru, aku lebih suka sekolah lamaku, waktuku banyak
kuhabiskan diluar sekolah.
“Tidak
senang Pa, kenapa Hime harus pindah Pa? Bukankah sekolah Hime sebelumnya lebih
baik?”, gerutuku kesal.
“Tidak,
Papa tidak suka, kamu sering pergi dengan teman-teman kamu dan lupa waktu!”,
bantah Papa.
Aku
berjalan pelan menuju kamarku yang berada di loteng, aku sengaja meminta Mama
dan Papa untuk tinggal di loteng yang sebelumnya adalah kamar kakakku,
berhubung sang Pangeran kesayangan Mama sedang melancong ke negeri matahari
terbit, akhirnya aku yang berkuasa di rumah ini.
Panggilan
masuk dari Kak Stevan, aku langsung menjawabnya.
“Moshi moshi[1]
Hime!”, sapa Kak Stevan
“Moshi moshi, Hime kesal dengan Papa,
Hime tidak suka di sekolah baru Hime!”, ceritaku
Aku
menceritakan kekesalanku sekolah di tempat baru, Kak Stevan menghiburku dengan
membanggakan sekolah baruku karena dulu dia juga sekolah disana, aku hanya
mendengarkan petuah panjangnya yang selalu membuatku terdiam.
Usai
memberikan wejangannya, Kak Stevan berpamitan untuk mandi,
“Dewa mata Aniki[2]!”,
ucapku mengakhiri komunikasi, aku melempar ponselku ke sofa dan menatap kesal
keluar jendela kamarku.
Namaku adalah Ayasehime, Mama
memberi namaku seperti itu karena aku lahir di Jepang dan kami tinggal disana
selama tiga tahun. Mama yang merupakan keturunan asli Jerman menikah dengan
Papa yang memiliki darah Rusia-Indonesia dari Kakek dan Nenekku, melahirkan
keturunan yang bercampur-campur padaku dan Kakakku.
Umurku dengan kakakku berjarak
lima tahun, saat ini dia sedang kuliah di Jepang, mengambil jurusan seni,
dengan begitu secara otomatis Mama dan Papa memberikan mandat untukku
melanjutkan bisnis orang tua. Aku harus kuliah di ekonomi, meskipun aku
berencana mengambil jurusan Ipa saat sma. Kakakku, Stevan, adalah sosok yang
sangat di banggakan oleh Mama, dia sangat tampan, pintar dan yang membuat Mama
tidak bisa berpaling padaku adalah ketekunan ibadah kak Stevan. Tapi itu tidak
berarti Mama tidak sayang padaku, Mama sangat sayang padaku, tapi jika
berhubungan dengan sikap dan sifat, Mama akan memihak Kak Stevan. Aku tidak
merasa tersingkirkan sebab Mama lebih memanjakan aku daripada Kak Stevan, bagi
Mama laki-laki tidak boleh bersikap manja, dan Mama sangat mengharapkan anak perempuan,
keberuntungan untukku.
Langkah
kaki di tangga kamarku mengembalikanku ke dunia nyata, aku menoleh, Mama sudah
berdiri dengan cantik di tangga kamarku.
“Hime,
malam ini Mama dan Papa ada pertemuan dengan teman, kamu tidak boleh keluar
rumah tanpa seizin Papa, usai sholat langsung belajar dan tidur, jangan lupa
makan. Semuanya sudah disiapkan pelayan di bawah”, pesan Mama
“Siap
Mama, Hime boleh minta sesuatu?”, tanyaku
“Apa?
Ice cream? Coklat? Cake?”, selidik Mama, lebih tepatnya
mungkin menggodaku, aku adalah sosok yang sangat menjaga bentuk tubuhku agar
terlihat ramping, tapi Mama selalu menggodaku dengan makanan enak.
“Coklat
saja Mam!”, kataku akhirnya, Mama tersenyum dan kembali turun tangga. Setelah
mendengar pintu kamarku tertutup aku langsung menarik buku untuk belajar.
Pagi ini, seperti hari kemarin,
berangkat ke sekolah baru, Mama menolak permintaanku untuk berangkat sendiri,
jadi hari ini Mama mengantarku lagi, aku memang belum punya sim sendiri
setidaknya Mama mengizinkan aku pergi sendiri dengan sopir keluarga kami.
“Pulang
sekolah, hubungi Mama, jangan naik taksi lagi Hime, bahaya!”, pesan Mama
sebelum aku turun dari mobil
“Iya
Mama, Hime sekolah dulu, sampai nanti!”, aku menutup pintu mobil dan masuk ke
sekolah.
“Hime!”,
sapa seseorang aku menoleh, teman di kelasku, jika aku tidak salah mengingat,
namanya Tiara, “Bagaimana menurutmu sekolah disini?”
“Menyenangkan,
meski aku belum bisa senang disini, bukan karena apapun, hanya merasa dipaksa
oleh Papa untuk pindah kemari!”, jawabku datar, Tiara tersenyum kecil.
Selama
pelajaran berlangsung, aku merasa cukup mengerti kenapa Papa memintaku untuk
pindah kemari, di sekolah baruku yang merupakan full day school -meskipun kita sudah sma- membuat kami sibuk dengan
urusan sekolah dan tidak ada waktu untuk berfikir akan menghabiskan waktu
dengan keluar.
Sepulang
sekolah aku langsung merebahkan diriku di tempat tidur, kulihat jam di tanganku
sudah jam empat sore, aku harus segera mandi sebelum Mama naik ke kamarku. Aku
setengah berlari ke kamar mandi, usai mandi lalu menyegerakkan sholat ashar dan
kembali merebahkan diriku di tempat tidur.
“Hime,
kamu di atas?”, tanya Mama dari bawah tangga
“Iya
Mama, aku di atas, dan lelah. Ada apa?”, tanyaku seraya bangkit dan menuju
tangga kamarku, Mama menjulurkan kepalanya masuk ke dalam pintu kamarku.
“Mama
dan Papa ingin mengajakmu pergi makan malam di luar!”, jawab Mama, “Jadi usai
sholat isya nanti segera bersiap untuk pergi!”
“Iya
Mama!”, sahutku senang dan kembali ke tempat tidur.
Acara
makan malam kurasa janggal dengan sosok cowok nangkring di depanku. Di sambut
ucapan Mama dan Papa untuk mengenalkan aku dengannya, Deris itu namanya,
terdengar keren, jika hanya mendengarnya tanpa melihat makhluk neanderthal di depanku ini.
Bukan
merasa lebih baik tapi, karena yang ada di depanku bukan terlihat seperti orang
masa kini. Dia tidak makan menggunakan sendok, garpu, pisau atau bahkan sumpit,
melainkan tangan, rasanya dia nyaman sekali mengambil potongan steak dengan
tangannya. Menjadikan selera makanku hilang semua.
“Putri
Mama, kenapa murung?”, tanya Mama dalam perjalanan pulang.
“Adakah
alasan lain Mam selain bertemu dengan mahkluk neanderthal itu!”, jawabku kesal, aku menatap kosong ke jendela
mobil, melihat deretan bangunan yang kami lewati.
“Hime,
Papa tidak mengajarkan kamu seperti itu, tarik ucapanmu!”, tegur Papa, aku
mendengus kecil.
“Iya,
Hime minta maaf! Tapi kita makan steak Ma, kita tidak makan makanan jawa
seperti lalapan atau apapun yang terasa nikmat jika menggunakan tangan. Jangan
bilang dia makan ramen dengan tangan pula!”, sahutku
Papa
tidak berkomentar apapun, aku kembali menatap keluar jendela, tiba-tiba sebuah
gagasan melintas di pikiranku aku langsung menatap kearah Papa dan Mama
bergantian.
“Papa,
Papa tidak berencana menjadikan Deris pasangan Hime kan?”, tanyaku pelan
mengasihani diriku, Papa diam tidak menyahut. “Oh no! Taihen[3]
Mama!”
“Papa,
lihatlah Hime, apa Papa tega melihat wajahnya seperti ini?”, tanya Mama pada
Papa, Papa hanya diam, masih menatap lurus kedepan, Mama meraihku dalam
pelukannya, “InsyaAllah ada jalan yang baik kok!”
“Semoga
Mama, Hime tidak ingin mimpi buruk, naudzubillah Mama!”, aku belum bisa
menenangkan hatiku.
Selama
akhir perjalanan, aku berharap itu hanya ketakutanku saja, aku tidak mau kalau
Papa akan menjadikan Deris pasanganku, itu akan menjadi akhir dari masa
bahagiaku, aku akan berubah menjadi sosok yang mengerikan saat menjalin
hubungan dengan orang macam Deris, aku meratap sedih.
“Papa
tidak akan mengiyakan ajakan perjodohan ini, tenang saja! Tapi ada syaratnya
Hime!”, sahut Papa sesampai di rumah.
Aku
kaget mendengar syarat yang ducapkan Papa, dengan tawa kecil Papa membelai
rambutku dan berjalan masuk ke kamar, aku masih tertegun, syarat yang sangat
berbahaya buatku, aku terduduk lemas di lantai, rasanya ingin menangis saat ini
juga.
0 comments:
Post a Comment