Saturday, November 8, 2014

Pena Ananda_Dream Comes True part 1

Langit mulai gelap, namun aku masih duduk di depan pintu rumah, tidak menunggu siapapun, hanya ingin melihat kelinciku yang menolak untuk ku masukkan kandang. Setiap pagi dan sore aku selalu merawat kelinci, dulu aku melakukannya dengan Kak Stevan, tapi sekarang hanya aku sendiri, meskipun dirumah ada pelayan, kedua orangtuaku menghimbau untuk tidak meminta bantuan pada pelayan selama aku bisa melakukannya sendiri.
“Hime, lekas masuk rumah! Apa yang kamu lakukan disana?!”, Tegur Mama, “Kelincinya akan masuk kandang sendiri, nanti biar pelayan yang mengurusnya!”
“Iya Mama!”, aku bangkit dan masuk rumah, Mama menatapku dengan tatapan marah.
Usai mandi yang menghabiskan waktu hampir satu jam, Mama mengajakku untuk sholat berjamaah dengan Papa yang sudah pulang kerja.
Papaku seorang pebisnis, Papa melanjutkan bisnis Kakek dan Nenekku yang sekarang berhenti bekerja dan tinggal di Rusia, negara asal Nenek. Keseharian Papa disibukkan di kantor perusahaan, berbeda dengan Mamaku yang seorang dokter, beliau selalu sibuk di rumah sakit, sudah pasti.
“Bagaimana sekolah barunya?”, tanya Papa usai sholat maghrib, aku hanya menggeleng pelan, tidak suka dengan sekolah baru, aku lebih suka sekolah lamaku, waktuku banyak kuhabiskan diluar sekolah.
“Tidak senang Pa, kenapa Hime harus pindah Pa? Bukankah sekolah Hime sebelumnya lebih baik?”, gerutuku kesal.
“Tidak, Papa tidak suka, kamu sering pergi dengan teman-teman kamu dan lupa waktu!”, bantah Papa.
Aku berjalan pelan menuju kamarku yang berada di loteng, aku sengaja meminta Mama dan Papa untuk tinggal di loteng yang sebelumnya adalah kamar kakakku, berhubung sang Pangeran kesayangan Mama sedang melancong ke negeri matahari terbit, akhirnya aku yang berkuasa di rumah ini.
Panggilan masuk dari Kak Stevan, aku langsung menjawabnya.
Moshi moshi[1] Hime!”, sapa Kak Stevan
Moshi moshi, Hime kesal dengan Papa, Hime tidak suka di sekolah baru Hime!”, ceritaku
Aku menceritakan kekesalanku sekolah di tempat baru, Kak Stevan menghiburku dengan membanggakan sekolah baruku karena dulu dia juga sekolah disana, aku hanya mendengarkan petuah panjangnya yang selalu membuatku terdiam.
Usai memberikan wejangannya, Kak Stevan berpamitan untuk mandi,
Dewa mata Aniki[2]!”, ucapku mengakhiri komunikasi, aku melempar ponselku ke sofa dan menatap kesal keluar jendela kamarku.
Namaku adalah Ayasehime, Mama memberi namaku seperti itu karena aku lahir di Jepang dan kami tinggal disana selama tiga tahun. Mama yang merupakan keturunan asli Jerman menikah dengan Papa yang memiliki darah Rusia-Indonesia dari Kakek dan Nenekku, melahirkan keturunan yang bercampur-campur padaku dan Kakakku.
Umurku dengan kakakku berjarak lima tahun, saat ini dia sedang kuliah di Jepang, mengambil jurusan seni, dengan begitu secara otomatis Mama dan Papa memberikan mandat untukku melanjutkan bisnis orang tua. Aku harus kuliah di ekonomi, meskipun aku berencana mengambil jurusan Ipa saat sma. Kakakku, Stevan, adalah sosok yang sangat di banggakan oleh Mama, dia sangat tampan, pintar dan yang membuat Mama tidak bisa berpaling padaku adalah ketekunan ibadah kak Stevan. Tapi itu tidak berarti Mama tidak sayang padaku, Mama sangat sayang padaku, tapi jika berhubungan dengan sikap dan sifat, Mama akan memihak Kak Stevan. Aku tidak merasa tersingkirkan sebab Mama lebih memanjakan aku daripada Kak Stevan, bagi Mama laki-laki tidak boleh bersikap manja, dan Mama sangat mengharapkan anak perempuan, keberuntungan untukku.
Langkah kaki di tangga kamarku mengembalikanku ke dunia nyata, aku menoleh, Mama sudah berdiri dengan cantik di tangga kamarku.
“Hime, malam ini Mama dan Papa ada pertemuan dengan teman, kamu tidak boleh keluar rumah tanpa seizin Papa, usai sholat langsung belajar dan tidur, jangan lupa makan. Semuanya sudah disiapkan pelayan di bawah”, pesan Mama
“Siap Mama, Hime boleh minta sesuatu?”, tanyaku
“Apa? Ice cream? Coklat? Cake?”, selidik Mama, lebih tepatnya mungkin menggodaku, aku adalah sosok yang sangat menjaga bentuk tubuhku agar terlihat ramping, tapi Mama selalu menggodaku dengan makanan enak.
“Coklat saja Mam!”, kataku akhirnya, Mama tersenyum dan kembali turun tangga. Setelah mendengar pintu kamarku tertutup aku langsung menarik buku untuk belajar.

Pagi ini, seperti hari kemarin, berangkat ke sekolah baru, Mama menolak permintaanku untuk berangkat sendiri, jadi hari ini Mama mengantarku lagi, aku memang belum punya sim sendiri setidaknya Mama mengizinkan aku pergi sendiri dengan sopir keluarga kami.
“Pulang sekolah, hubungi Mama, jangan naik taksi lagi Hime, bahaya!”, pesan Mama sebelum aku turun dari mobil
“Iya Mama, Hime sekolah dulu, sampai nanti!”, aku menutup pintu mobil dan masuk ke sekolah.
“Hime!”, sapa seseorang aku menoleh, teman di kelasku, jika aku tidak salah mengingat, namanya Tiara, “Bagaimana menurutmu sekolah disini?”
“Menyenangkan, meski aku belum bisa senang disini, bukan karena apapun, hanya merasa dipaksa oleh Papa untuk pindah kemari!”, jawabku datar, Tiara tersenyum kecil.
Selama pelajaran berlangsung, aku merasa cukup mengerti kenapa Papa memintaku untuk pindah kemari, di sekolah baruku yang merupakan full day school -meskipun kita sudah sma- membuat kami sibuk dengan urusan sekolah dan tidak ada waktu untuk berfikir akan menghabiskan waktu dengan keluar.
Sepulang sekolah aku langsung merebahkan diriku di tempat tidur, kulihat jam di tanganku sudah jam empat sore, aku harus segera mandi sebelum Mama naik ke kamarku. Aku setengah berlari ke kamar mandi, usai mandi lalu menyegerakkan sholat ashar dan kembali merebahkan diriku di tempat tidur.
“Hime, kamu di atas?”, tanya Mama dari bawah tangga
“Iya Mama, aku di atas, dan lelah. Ada apa?”, tanyaku seraya bangkit dan menuju tangga kamarku, Mama menjulurkan kepalanya masuk ke dalam pintu kamarku.
“Mama dan Papa ingin mengajakmu pergi makan malam di luar!”, jawab Mama, “Jadi usai sholat isya nanti segera bersiap untuk pergi!”
“Iya Mama!”, sahutku senang dan kembali ke tempat tidur.
Acara makan malam kurasa janggal dengan sosok cowok nangkring di depanku. Di sambut ucapan Mama dan Papa untuk mengenalkan aku dengannya, Deris itu namanya, terdengar keren, jika hanya mendengarnya tanpa melihat makhluk neanderthal di depanku ini.
Bukan merasa lebih baik tapi, karena yang ada di depanku bukan terlihat seperti orang masa kini. Dia tidak makan menggunakan sendok, garpu, pisau atau bahkan sumpit, melainkan tangan, rasanya dia nyaman sekali mengambil potongan steak dengan tangannya. Menjadikan selera makanku hilang semua.
“Putri Mama, kenapa murung?”, tanya Mama dalam perjalanan pulang.
“Adakah alasan lain Mam selain bertemu dengan mahkluk neanderthal itu!”, jawabku kesal, aku menatap kosong ke jendela mobil, melihat deretan bangunan yang kami lewati.
“Hime, Papa tidak mengajarkan kamu seperti itu, tarik ucapanmu!”, tegur Papa, aku mendengus kecil.
“Iya, Hime minta maaf! Tapi kita makan steak Ma, kita tidak makan makanan jawa seperti lalapan atau apapun yang terasa nikmat jika menggunakan tangan. Jangan bilang dia makan ramen dengan tangan pula!”, sahutku
Papa tidak berkomentar apapun, aku kembali menatap keluar jendela, tiba-tiba sebuah gagasan melintas di pikiranku aku langsung menatap kearah Papa dan Mama bergantian.
“Papa, Papa tidak berencana menjadikan Deris pasangan Hime kan?”, tanyaku pelan mengasihani diriku, Papa diam tidak menyahut. “Oh no! Taihen[3] Mama!”
“Papa, lihatlah Hime, apa Papa tega melihat wajahnya seperti ini?”, tanya Mama pada Papa, Papa hanya diam, masih menatap lurus kedepan, Mama meraihku dalam pelukannya, “InsyaAllah ada jalan yang baik kok!”
“Semoga Mama, Hime tidak ingin mimpi buruk, naudzubillah Mama!”, aku belum bisa menenangkan hatiku.
Selama akhir perjalanan, aku berharap itu hanya ketakutanku saja, aku tidak mau kalau Papa akan menjadikan Deris pasanganku, itu akan menjadi akhir dari masa bahagiaku, aku akan berubah menjadi sosok yang mengerikan saat menjalin hubungan dengan orang macam Deris, aku meratap sedih.
“Papa tidak akan mengiyakan ajakan perjodohan ini, tenang saja! Tapi ada syaratnya Hime!”, sahut Papa sesampai di rumah.
Aku kaget mendengar syarat yang ducapkan Papa, dengan tawa kecil Papa membelai rambutku dan berjalan masuk ke kamar, aku masih tertegun, syarat yang sangat berbahaya buatku, aku terduduk lemas di lantai, rasanya ingin menangis saat ini juga.




[1] Halo
[2] Sampai Jumpa Kakak Laki-laki
[3] Bencana

0 comments:

Post a Comment