Wednesday, November 19, 2014

Pena Ananda_Dia part 1


Keramaian kota, bising kendaraan lalu lalang adalah hal yang sudah melekat erat dalam hidupku. Meskipun aku tinggal di sebuah rumah seperti istana dengan ruangan-ruangan kedap suara, itu tidak berpengaruh terhadap suasana kota yang ramai, penuh, bising, dan bagiku suasana kota adalah bebas untuk melangkahkan kaki ke tempat-tempat keren.
Selesai!
Terasa tujuh huruf tersebut melintas berkali-kali dalam benakku semakin lama semakin terasa berat dan mengganggu. Semuanya sudah selesai, tidak ada lagi keramaian, bising kendaraan, tempat yang sesak dengan banyak orang, itu semua sudah berakhir saat ini juga.
Suara roda koper terdengar semakin dekat dengan kamarku yang kubiarkan terbuka lebar usai pelayan masuk untuk merapikan kamarku.
“Ce, semua sudah siap, lekas keluar dari kamar dan kita berangkat”, aku menghela nafas panjang lalu mengangkat tubuhku dari sofa empuk yang akan ku tinggalkan setelah enam belas tahun memanjakan tubuhku disaat lelah.
Rumahku terlihat seperti istana, mungkin karena itu saat aku lahir orang tuaku memberikan nama Princess padaku. Meski sejak kecil aku akrab di panggil dengan Cece, bukan karena aku keturunan cina, tapi nama itu adalah nama singkat dari Princess yang di berikan oleh Mamaku.
Bergelar nama Princess tak membuatku bisa memiliki apapun yang aku mau seperti putri-putri dalam kerajaan. Yang bisa kudapatkan hanyalah keinginan Mama dan keinginan Papa. Salah satunya adalah mengirimku ke tempat yang jika kamu cari di google mungkin sedikit track recordnya, aku pun malas untuk memastikan.
Sebuah desa di kabupaten bojonegoro yang akan menjadi tempatku selama diasingkan oleh Mama dan Papa. Mereka akan pergi ke Jerman sebab mendapat beasiswa untuk sekolah lagi dan melakukan penelitian disana. Aku tidak mengerti kenapa mereka tidak membawaku serta dan memilih untuk menyuruhku tinggal dengan salah satu pelayan rumah yang selama ini merawatku sejak aku lahir.
Lima tahun itu tidak sebentar, dan mereka memilih untuk meninggalkanku selama itu. Aku tidak bisa percaya mereka bisa sampai hati membuatku tinggal di tempat yang jauh dari kata istana dan mewah.
Aku menatap layar di ponselku, tertera empat angka yang berbaris rapi, menunjukkan saat ini sudah sore. Aku menggeser tirai jendela mobil untuk melihat suasana di sekitar rumah baruku.
Hijau.
Semua serba hijau, aku menyukai warna hijau dan biru sebab itu sejuk, seperti laut dan hutan, tapi menurutku alasan itu terlalu berlebihan jika menjadikan orang tuaku mengirimku kesini.



Mobil berhenti, aku menutup kembali tirai jendela dan menatap kearah Mama dan Papa yang duduk di depanku.
“Ce, kita turun disini, itu rumah Nini”, Mama menujuk ke rumah bercat coklat kayu.
Rumahnya cukup besar, halaman terbentang luas di depannya, pot bunga berjejer rapi di pinggir rumah. Dengan berat hati aku menginjakkan kaki turun dari mobil, Mama dan Papa tersenyum kecil melihat tingkahku.
Nini adalah nama panggilanku untuk pelayan pribadiku. Aku memiliki kebiasaan memberi sebutan kepada orang-orang yang dekat denganku, sopir yang selama ini setia mengantarkan kemanapun aku pergi bernama pak Supri, tapi kupanggil Didi. Begitupun dengan Nini, nama aslinya adalah ibu Hartini. Saat mereka menerima dan senang kupanggil seperti itu, aku pun terbiasa dengan sebutan itu dan bahkan menjadi nama dalam keluargaku, semuanya memanggil Nini dan Didi.
“Ayo ikut Nini masuk ke rumah, kamar mbak Cece sudah disiapkan”, ajak Nini. Aku mengikuti langkah kaki Nini masuk rumah.
Ruang tamu Nini sebesar empat kali empat, empat kursi kayu mengitari satu meja persegi panjang yang terbungkus taplak berwarna putih. Di sudut ruangan terdapat meja kecil lalu diatasnya bertengger bunga hias yang memberikan suasan hidup dalam ruang tamu. Aku kembali berjalan, Nini membuka salah satu pintu terdekat dari ruang tamu.
Harum lavender langsung menusuk hidungku, di sudut ruangan terdapat bunga lavender. Tempat tidurku memiliki ukuran sama seperti di rumah. secara keseluruhan kamarku di setting sama dengan kamarku sebelumnya, kecuali dua hal, kamar mandi dan ruang penyimpanan.
Tanpa ruang penyimpanan rasanya akan menyedihkan jika barang-barangku tidak cukup dalam satu almari, dan tidak ada kamar mandi di kamarku, artinya aku harus menggunakan kamar mandi dengan orang lain dan mungkin akan antri.
“Maaf kalau mbak Cece tidak suka, cuma ini yang Nini miliki”, ujar Nini yang mungkin menyadari raut wajah kecewa di wajahku.
“Sudahlah Ni, jangan terlalu memanjakan Cece, mulai sekarang panggil dia Cece saja, tidak perlu pakai mbak. Disini Cece menumpang di rumah Nini, jadi bersikaplah baik Ce, jangan buat Mama dan Papa kecewa karena sikapmu”, tutur Mama dengan wajah penuh wibawa.
Mama dan Papa menolak untuk menginap dan mereka pergi tepat jam lima sore. Aku menatap mobil Papa dengan wajah sedih. Nini memanggilku dan memintaku segera mandi sebelum malam. Aku berbalik dan masuk rumah.
ùùù
Sekolah baru dengan seragam baru, dan pasti teman baru. Aku menepuk keningku dengan helaan nafas panjang. Dimulailah kehidupan Princess yang baru, ucapku dalam hati. Aku menarik tas coklatku dan memasukan buku catatan, tablet, tempat pensil, tisu, tak lupa tas make-upku. Aku meraih kaca mata baruku dengan frame warna biru langit, warna favoritku.
Aku menatap meja makan, tidak ada yang membuatku selera, aku memilih untuk meminum habis susu dalam gelas.
“Sarapan dulu Cece”, saran Nini, aku menggeleng pelan, “Disini jauh dari toserba, jadi sebaiknya Cece latihan sarapan dengan nasi”
Selama ini aku selalu sarapan dengan roti dan susu, barulah siang hari aku mau makan nasi. Sepertinya kehidupan Princess yang dulu sudah berakhir, sadarlah, ucapku dalam hati. Aku menikmati nasi goreng buatan Nini dengan pelan.
Usai sarapan, suami Nini mengantarku ke sekolah dengan motor. Kupikir sekolahku dekat, ternyata harus menempuh jarak kurang lebih tiga kilo meter. Selama perjalanan, banyak hal yang kulihat. Para petani yang sudah melakukan aktivitasnya di sawah, segerombolan anak kecil yang berangkat ke sekolah dengan bersamaan. Tawa ibu-ibu saat sedang memilih sayuran untuk hari ini. Serta suara-suara burung berkicau yang menikmati padi milik warga sekitar.
Bubu- panggilanku untuk suami Nini- menghentikan motor di tempat parkir sekolah, aku turun lalu merapikan rambutku yang mulai kusut karena terpaan angin sepanjang jalan. Bubu tersenyum melihat tingkahku yang sibuk mematut diriku untuk tetap rapi.
“Cece tetap cantik, ayo masuk. Bapak kenalkan kamu sama guru disini”, ujar Bubu, aku mengangguk pelan dan mengikuti langkah kaki Bubu menuju ruang guru.
Semua guru perempuan mengenakan jilbab, mereka terlihat sangat anggun dan cantik, senyum di bibir mereka langsung merekah saat aku dan Bubu masuk ruang guru.
“Ini murid baru yang akan sekolah disini?”, tanya salah satu guru, aku mengangguk pelan, “Siapa namanya?”
“Vincentia Ayla Princess”, jawabku seraya mencium tangan guru yang bertanya padaku, “Kelas dua ipa”
“Ini buku panduan sekolah disini, kamu bisa menghafal nama guru dari buku ini, saya bu Nindya, wali kelasmu. Mari kita ke kelas”,
Bubu tersenyum padaku, aku berjalan meninggalkan ruang guru dan mengikuti langkah kaki bu Nindya ke kelas. Kelas dua ipa ‘b’, itu adalah nama kelasku. Suasana kelasku terasa cair dan menyenangkan. Aku berharap bisa cepat akrab dengan mereka. Bu Nindya memberiku kesempatan untuk berkenalan.
“Perkenalkan namaku Vincentia Ayla Princess, cukup panggil Princess saja”, ucapku dengan sedikit senyum.
“Wuih, keren, pindahan darimana?”, celetuk salah seorang yang duduk di bangku paling belakang, “Luar negeri? Disini tinggal dimana?”
“Perkenalan bisa dilanjutkan nanti, Princess silahkan, pilih tempat duduk yang kamu suka”, aku menatap seisi kelas lalu memilih duduk di baris nomor dua dari depan dan deret nomor dua dari samping kanan.
Aku menatap teman sebangkuku, sangat cuek dan angkuh, seolah dia tidak suka dengan kedatanganku. Aku menghela nafas pelan.
Usai pelajaran pertama, banyak anak yang mengajakku berkenalan, kecuali teman sebangkuku. Aku hanya menatap kepergiannya dengan heran.
“Siapa yang duduk disini? Aku tidak tahu namanya?”, tanyaku pada Indar.
“Bagas, dia adalah manusia paling dingin di sekolah ini, semoga kamu tidak kedinginan di sebelah dia”, jawab Indar dengan wajah tidak senang.
Bagas? Dingin? Baiklah, akan ku buat dia merasa hangat berada di sebelahku, pikirku.
ùùù
Aku menggerutu dengan kesal menatap semua chat dari teman lamaku, hampir semuanya tidak ada yang menghiburku karena aku pindah kemari. Bahkan setelah seminggu aku stay di sini, mereka tidak ada yang khawatir, aku melempar tabletku ke kasur dan keluar dari kamar.
Rumah Nini sepi, Nini sibuk membantu saudaranya yang memiliki usaha kerajinan tangan. Sedangkan Bubu sibuk di kantor kecamatan. Aku tidak tahu alasan Nini menjadi pelayan di rumahku jika dia memiliki suami seorang pegawai kecamatan.
Di luar rumah Nini sangat ramai, sebab tepat di seberang jalan ada sebuah warung yang biasa di datangi pemuda dari desa sini dan desa sebelah. Disini lebih membosankan sebab aku tidak bisa pergi sesuka hatiku, berbeda saat masih di surabaya, aku dengan leluasa pergi kemanapun dengan teman-teman.
“Bu Tini, Assalamu alaikum”, aku bangkit dari tempat duduk mendengar suara di luar rumah,
“Waalaikum salam, maaf cari siapa ya?”, tanyaku.
“Bu Tini ada? Ini ada undangan nikah, tolong disampaikan, kamu siapanya Bu Tini?”, tanya sang ibu seraya menyerahkan undangan padaku, “Saudaranya dari kota ya?”
Aku hanya bisa mengangguk dengan pelan. Setelah sang ibu pergi, aku meletakkan undangan di meja ruang makan lalu kembali masuk rumah. Statusku berubah menjadi saudara jauh Nini dari kota, dari awalnya sebagai nona besar di istana tempat kerja Nini.
Bukan aku tidak suka dengan status itu, tapi aku merasa Mama dan Papa sedang melakukan sesuatu untukku, kenapa mereka memilih mengirimku kesini. Kenapa aku tidak ikut om di jakarta, atau tante di bandung, bahkan nenek di bali. Banyak pilihan, tapi kenapa Mama dan Papa memilih disini? Di tempat orang yang bukan keluargaku, di tempat asing bagiku.
Aku terbangun dengan kaget karena dering ponselku, panggilan dari Mama. Aku menjawab dengan semangat.
“Cece, Mama punya kabar bagus untukmu”, cerita Mama dengan senang.
Mama mengabarkan kalau proposal penelitian Mama di terima dan akan melakukan penelitian secara mendalam, mungkin bagi Mama itu kabar bagus, tapi bagiku itu sama saja memperjauh hubunganku dengan Mama dan Papa. Usai berbincang lama dan mendapatkan petuah sangat panjang dari Mama, aku bangun dari tidurku. Kulirik jam di ponsel, sudah sore.
Nini belum pulang, sepertinya Bubu juga belum pulang, aku bangkit untuk mandi. Usai mandi aku dikagetkan oleh sosok asing sedang duduk santai di kursi seraya menikmati cemilan yang disediakan Nini untukku.
“Maaf, kamu siapa?”, tanyaku takut. Cowok di depanku menoleh, menatapku dari atas hingga bawah, aku semakin takut.
Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, dia bangkit dan keluar menuju ruang tamu, dengan penasaran dan curiga aku berjalan ke ruang tamu, dia kembali duduk lalu merebahkan diri di kursi dan menutup wajahnya dengan bantal.
“Maaf, kamu siapa?”, tanyaku lagi, dia tidak bergeming, menyingkirkan bantalnya pun tidak seolah tidak mendengar apa yang aku katakan.
Aku menarik bantal di wajahnya, dia langsung menatapku, tidak marah atau yang lain, dia malah menatapku dengan tatapan teduh dan menyejukkan, seolah ada salju yang menetes dalam diriku.
“Ini bukan rumahku, jadi aku takut kalau ada orang tak dikenal masuk, juga takut kalau salah mengusir orang, kamu siapa?”, tanyaku mencoba untuk tidak melukai perasaan dia.
“Braakk!”, aku menoleh dengan kaget ke arah pintu rumah, sedetik kemudian Nini berlari masuk rumah.
Tanpa dikomando apapun, Nini langsung berhambur dalam pelukan cowok di depanku. Dia balas memeluk Nini dengan erat. Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang aku lihat.
“Ohya kenalkan ini Princess yang sering ibu ceritakan padamu, usia dia tidak jauh dengan kamu”, ucap Nini pada dia, dia menoleh lalu menatapku, Nini juga ikut menatapku. “Cece, ini Davi, anak Nini”
Anak? Kalau jarak usia kami tidak jauh? Apa itu artinya Nini memilih merawatku dan tidak merawat Mas Davi? 

0 comments:

Post a Comment