Keramaian kota, bising kendaraan lalu lalang adalah hal yang sudah melekat erat dalam hidupku. Meskipun aku tinggal di sebuah rumah seperti istana dengan ruangan-ruangan kedap suara, itu tidak berpengaruh terhadap suasana kota yang ramai, penuh, bising, dan bagiku suasana kota adalah bebas untuk melangkahkan kaki ke tempat-tempat keren.
Selesai!
Terasa tujuh huruf tersebut melintas
berkali-kali dalam benakku semakin lama semakin terasa berat dan mengganggu.
Semuanya sudah selesai, tidak ada lagi keramaian, bising kendaraan, tempat yang
sesak dengan banyak orang, itu semua sudah berakhir saat ini juga.
Suara roda koper terdengar semakin dekat
dengan kamarku yang kubiarkan terbuka lebar usai pelayan masuk untuk merapikan
kamarku.
“Ce, semua sudah siap, lekas keluar dari kamar
dan kita berangkat”, aku menghela nafas panjang lalu mengangkat tubuhku dari
sofa empuk yang akan ku tinggalkan setelah enam belas tahun memanjakan tubuhku
disaat lelah.
Rumahku terlihat seperti istana, mungkin
karena itu saat aku lahir orang tuaku memberikan nama Princess padaku. Meski
sejak kecil aku akrab di panggil dengan Cece, bukan karena aku keturunan cina,
tapi nama itu adalah nama singkat dari Princess yang di berikan oleh Mamaku.
Bergelar nama Princess tak membuatku bisa
memiliki apapun yang aku mau seperti putri-putri dalam kerajaan. Yang bisa
kudapatkan hanyalah keinginan Mama dan keinginan Papa. Salah satunya adalah
mengirimku ke tempat yang jika kamu cari di google mungkin sedikit track
recordnya, aku pun malas untuk memastikan.
Sebuah desa di kabupaten bojonegoro yang akan
menjadi tempatku selama diasingkan oleh Mama dan Papa. Mereka akan pergi ke
Jerman sebab mendapat beasiswa untuk sekolah lagi dan melakukan penelitian
disana. Aku tidak mengerti kenapa mereka tidak membawaku serta dan memilih
untuk menyuruhku tinggal dengan salah satu pelayan rumah yang selama ini
merawatku sejak aku lahir.
Lima tahun itu tidak sebentar, dan mereka
memilih untuk meninggalkanku selama itu. Aku tidak bisa percaya mereka bisa
sampai hati membuatku tinggal di tempat yang jauh dari kata istana dan mewah.
Aku menatap layar di ponselku, tertera empat
angka yang berbaris rapi, menunjukkan saat ini sudah sore. Aku menggeser tirai
jendela mobil untuk melihat suasana di sekitar rumah baruku.
Hijau.
Semua
serba hijau, aku menyukai warna hijau dan biru sebab itu sejuk, seperti laut
dan hutan, tapi menurutku alasan itu terlalu berlebihan jika menjadikan orang
tuaku mengirimku kesini.
Mobil berhenti, aku menutup kembali tirai
jendela dan menatap kearah Mama dan Papa yang duduk di depanku.
“Ce, kita turun disini, itu rumah Nini”, Mama
menujuk ke rumah bercat coklat kayu.
Rumahnya cukup besar, halaman terbentang luas
di depannya, pot bunga berjejer rapi di pinggir rumah. Dengan berat hati aku
menginjakkan kaki turun dari mobil, Mama dan Papa tersenyum kecil melihat
tingkahku.
Nini adalah nama panggilanku untuk pelayan
pribadiku. Aku memiliki kebiasaan memberi sebutan kepada orang-orang yang dekat
denganku, sopir yang selama ini setia mengantarkan kemanapun aku pergi bernama
pak Supri, tapi kupanggil Didi. Begitupun dengan Nini, nama aslinya adalah ibu
Hartini. Saat mereka menerima dan senang kupanggil seperti itu, aku pun
terbiasa dengan sebutan itu dan bahkan menjadi nama dalam keluargaku, semuanya
memanggil Nini dan Didi.
“Ayo ikut Nini masuk ke rumah, kamar mbak Cece
sudah disiapkan”, ajak Nini. Aku mengikuti langkah kaki Nini masuk rumah.
Ruang tamu Nini sebesar empat kali empat, empat
kursi kayu mengitari satu meja persegi panjang yang terbungkus taplak berwarna
putih. Di sudut ruangan terdapat meja kecil lalu diatasnya bertengger bunga
hias yang memberikan suasan hidup dalam ruang tamu. Aku kembali berjalan, Nini
membuka salah satu pintu terdekat dari ruang tamu.
Harum lavender langsung menusuk hidungku, di
sudut ruangan terdapat bunga lavender. Tempat tidurku memiliki ukuran sama
seperti di rumah. secara keseluruhan kamarku di setting sama dengan kamarku
sebelumnya, kecuali dua hal, kamar mandi dan ruang penyimpanan.
Tanpa ruang penyimpanan rasanya akan
menyedihkan jika barang-barangku tidak cukup dalam satu almari, dan tidak ada
kamar mandi di kamarku, artinya aku harus menggunakan kamar mandi dengan orang
lain dan mungkin akan antri.
“Maaf kalau mbak Cece tidak suka, cuma ini
yang Nini miliki”, ujar Nini yang mungkin menyadari raut wajah kecewa di
wajahku.
“Sudahlah Ni, jangan terlalu memanjakan Cece,
mulai sekarang panggil dia Cece saja, tidak perlu pakai mbak. Disini Cece menumpang
di rumah Nini, jadi bersikaplah baik Ce, jangan buat Mama dan Papa kecewa
karena sikapmu”, tutur Mama dengan wajah penuh wibawa.
Mama dan Papa menolak untuk menginap dan
mereka pergi tepat jam lima sore. Aku menatap mobil Papa dengan wajah sedih. Nini
memanggilku dan memintaku segera mandi sebelum malam. Aku berbalik dan masuk
rumah.
ùùù
Sekolah baru dengan seragam baru, dan pasti
teman baru. Aku menepuk keningku dengan helaan nafas panjang. Dimulailah
kehidupan Princess yang baru, ucapku dalam hati. Aku menarik tas coklatku dan
memasukan buku catatan, tablet, tempat pensil, tisu, tak lupa tas make-upku.
Aku meraih kaca mata baruku dengan frame warna biru langit, warna favoritku.
Aku menatap meja makan, tidak ada yang
membuatku selera, aku memilih untuk meminum habis susu dalam gelas.
“Sarapan dulu Cece”, saran Nini, aku
menggeleng pelan, “Disini jauh dari toserba, jadi sebaiknya Cece latihan
sarapan dengan nasi”
Selama ini aku selalu sarapan dengan roti dan
susu, barulah siang hari aku mau makan nasi. Sepertinya kehidupan Princess yang
dulu sudah berakhir, sadarlah, ucapku dalam hati. Aku menikmati nasi goreng
buatan Nini dengan pelan.
Usai sarapan, suami Nini mengantarku ke
sekolah dengan motor. Kupikir sekolahku dekat, ternyata harus menempuh jarak
kurang lebih tiga kilo meter. Selama perjalanan, banyak hal yang kulihat. Para
petani yang sudah melakukan aktivitasnya di sawah, segerombolan anak kecil yang
berangkat ke sekolah dengan bersamaan. Tawa ibu-ibu saat sedang memilih sayuran
untuk hari ini. Serta suara-suara burung berkicau yang menikmati padi milik
warga sekitar.
Bubu- panggilanku untuk suami Nini-
menghentikan motor di tempat parkir sekolah, aku turun lalu merapikan rambutku
yang mulai kusut karena terpaan angin sepanjang jalan. Bubu tersenyum melihat
tingkahku yang sibuk mematut diriku untuk tetap rapi.
“Cece tetap cantik, ayo masuk. Bapak kenalkan
kamu sama guru disini”, ujar Bubu, aku mengangguk pelan dan mengikuti langkah
kaki Bubu menuju ruang guru.
Semua guru perempuan mengenakan jilbab, mereka
terlihat sangat anggun dan cantik, senyum di bibir mereka langsung merekah saat
aku dan Bubu masuk ruang guru.
“Ini murid baru yang akan sekolah disini?”,
tanya salah satu guru, aku mengangguk pelan, “Siapa namanya?”
“Vincentia Ayla Princess”, jawabku seraya
mencium tangan guru yang bertanya padaku, “Kelas dua ipa”
“Ini buku panduan sekolah disini, kamu bisa
menghafal nama guru dari buku ini, saya bu Nindya, wali kelasmu. Mari kita ke
kelas”,
Bubu tersenyum padaku, aku berjalan
meninggalkan ruang guru dan mengikuti langkah kaki bu Nindya ke kelas. Kelas
dua ipa ‘b’, itu adalah nama kelasku. Suasana kelasku terasa cair dan
menyenangkan. Aku berharap bisa cepat akrab dengan mereka. Bu Nindya memberiku
kesempatan untuk berkenalan.
“Perkenalkan namaku Vincentia Ayla Princess,
cukup panggil Princess saja”, ucapku dengan sedikit senyum.
“Wuih, keren, pindahan darimana?”, celetuk
salah seorang yang duduk di bangku paling belakang, “Luar negeri? Disini
tinggal dimana?”
“Perkenalan bisa dilanjutkan nanti, Princess
silahkan, pilih tempat duduk yang kamu suka”, aku menatap seisi kelas lalu
memilih duduk di baris nomor dua dari depan dan deret nomor dua dari samping
kanan.
Aku menatap teman sebangkuku, sangat cuek dan
angkuh, seolah dia tidak suka dengan kedatanganku. Aku menghela nafas pelan.
Usai pelajaran pertama, banyak anak yang
mengajakku berkenalan, kecuali teman sebangkuku. Aku hanya menatap kepergiannya
dengan heran.
“Siapa yang duduk disini? Aku tidak tahu
namanya?”, tanyaku pada Indar.
“Bagas, dia adalah manusia paling dingin di
sekolah ini, semoga kamu tidak kedinginan di sebelah dia”, jawab Indar dengan
wajah tidak senang.
Bagas? Dingin? Baiklah, akan ku buat dia
merasa hangat berada di sebelahku, pikirku.
ùùù
Aku menggerutu dengan kesal menatap semua chat
dari teman lamaku, hampir semuanya tidak ada yang menghiburku karena aku pindah
kemari. Bahkan setelah seminggu aku stay di sini, mereka tidak ada yang khawatir,
aku melempar tabletku ke kasur dan keluar dari kamar.
Rumah Nini sepi, Nini sibuk membantu
saudaranya yang memiliki usaha kerajinan tangan. Sedangkan Bubu sibuk di kantor
kecamatan. Aku tidak tahu alasan Nini menjadi pelayan di rumahku jika dia
memiliki suami seorang pegawai kecamatan.
Di luar rumah Nini sangat ramai, sebab tepat
di seberang jalan ada sebuah warung yang biasa di datangi pemuda dari desa sini
dan desa sebelah. Disini lebih membosankan sebab aku tidak bisa pergi sesuka
hatiku, berbeda saat masih di surabaya, aku dengan leluasa pergi kemanapun
dengan teman-teman.
“Bu Tini, Assalamu alaikum”, aku bangkit dari
tempat duduk mendengar suara di luar rumah,
“Waalaikum salam, maaf cari siapa ya?”,
tanyaku.
“Bu Tini ada? Ini ada undangan nikah, tolong
disampaikan, kamu siapanya Bu Tini?”, tanya sang ibu seraya menyerahkan
undangan padaku, “Saudaranya dari kota ya?”
Aku hanya bisa mengangguk dengan pelan.
Setelah sang ibu pergi, aku meletakkan undangan di meja ruang makan lalu
kembali masuk rumah. Statusku berubah menjadi saudara jauh Nini dari kota, dari
awalnya sebagai nona besar di istana tempat kerja Nini.
Bukan aku tidak suka dengan status itu, tapi
aku merasa Mama dan Papa sedang melakukan sesuatu untukku, kenapa mereka memilih
mengirimku kesini. Kenapa aku tidak ikut om di jakarta, atau tante di bandung,
bahkan nenek di bali. Banyak pilihan, tapi kenapa Mama dan Papa memilih disini?
Di tempat orang yang bukan keluargaku, di tempat asing bagiku.
Aku terbangun dengan kaget karena dering
ponselku, panggilan dari Mama. Aku menjawab dengan semangat.
“Cece, Mama punya kabar bagus untukmu”, cerita
Mama dengan senang.
Mama mengabarkan kalau proposal penelitian
Mama di terima dan akan melakukan penelitian secara mendalam, mungkin bagi Mama
itu kabar bagus, tapi bagiku itu sama saja memperjauh hubunganku dengan Mama
dan Papa. Usai berbincang lama dan mendapatkan petuah sangat panjang dari Mama,
aku bangun dari tidurku. Kulirik jam di ponsel, sudah sore.
Nini belum pulang, sepertinya Bubu juga belum
pulang, aku bangkit untuk mandi. Usai mandi aku dikagetkan oleh sosok asing
sedang duduk santai di kursi seraya menikmati cemilan yang disediakan Nini
untukku.
“Maaf, kamu siapa?”, tanyaku takut. Cowok di
depanku menoleh, menatapku dari atas hingga bawah, aku semakin takut.
Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, dia
bangkit dan keluar menuju ruang tamu, dengan penasaran dan curiga aku berjalan
ke ruang tamu, dia kembali duduk lalu merebahkan diri di kursi dan menutup
wajahnya dengan bantal.
“Maaf, kamu siapa?”, tanyaku lagi, dia tidak
bergeming, menyingkirkan bantalnya pun tidak seolah tidak mendengar apa yang
aku katakan.
Aku menarik bantal di wajahnya, dia langsung
menatapku, tidak marah atau yang lain, dia malah menatapku dengan tatapan teduh
dan menyejukkan, seolah ada salju yang menetes dalam diriku.
“Ini bukan rumahku, jadi aku takut kalau ada
orang tak dikenal masuk, juga takut kalau salah mengusir orang, kamu siapa?”,
tanyaku mencoba untuk tidak melukai perasaan dia.
“Braakk!”, aku menoleh dengan kaget ke arah
pintu rumah, sedetik kemudian Nini berlari masuk rumah.
Tanpa dikomando apapun, Nini langsung
berhambur dalam pelukan cowok di depanku. Dia balas memeluk Nini dengan erat.
Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang aku lihat.
“Ohya kenalkan ini Princess yang sering ibu ceritakan
padamu, usia dia tidak jauh dengan kamu”, ucap Nini pada dia, dia menoleh lalu
menatapku, Nini juga ikut menatapku. “Cece, ini Davi, anak Nini”
Anak?
Kalau jarak usia kami tidak jauh? Apa itu artinya Nini memilih merawatku dan
tidak merawat Mas Davi?
0 comments:
Post a Comment