Friday, November 7, 2014

Pena Ananda_Dreamland Part 1

Bukan hal baru bagi seorang Berlian tidak memiliki kekasih, semenjak ia berumur enam belas tahun hingga dua puluh tidak sedikit record cowok yang pernah bersanding dengannya. Silih berganti cowok yang datang dalam hidupnya, memberikan jarak waktu sendiri yang cukup lama, tapi untuk kali ini Berlian tidak bisa tinggal diam saja melihat semua temannya memiliki kekasih bahkan ada yang menikah. Sebersit iri muncul dalam benak Berlian namun di sisi lain ia tidak bisa menghentikan mimpi yang sudah ia simpan selama ini.
Berlian menatap lagi wajahnya di kaca. Wajah mungil yang selalu membuat orang senang karena senyum cantiknya. Berlian menghela nafas panjang.
“Lili, ayo buruan!”, seru Kania teman satu asrama Berlian, Berlian bangkit dan keluar dari kamar, Kania sudah siap dengan tas dan buku-buku tebalnya, Berlian menarik tas kecil di atas tempat tidur lalu keluar dari kamar.
Banyak hal yang dirasa tidak tepat bagi Berlian tapi membawa banyak keberuntungan di akhir cerita. Pertama adalah asrama, tinggal di asrama adalah pilihan yang kurang tepat bagi Berlian, sebenanrnya ia ingin kos, tapi dilarang oleh orang tuanya. Bagi Berlian larangan bukan sesuatu yang menakutkan lagi, semenjak ia keluar dari rumah yang seperti penjara. Bayangan tinggal di asrama yang seolah menjadi penjara kedua sudah hilang. Sebab banyak hal yang ia temui selama tinggal di asrama.
Kedua adalah jurusan, antropologi. Dengan latar belakang anak sosial memilih jurusan antropologi seperti memilih jodoh yang salah. Tapi setelah dua tahun kuliah di jurusan tersebut, Berlian mulai menemukan siapa dirinya dan apa yang harus dia lakukan untuk masa depan. Kuliah yang sejak awal semester hingga saat ini mendapat nilai buruk, mulai hilang. Berlian semakin giat belajar dan mendapatkan nilai yang memuaskan baginya.
“Lili!”, Berlian menoleh mendengar seruan Kania dan sebuah tarikan di tangannya, “Ada mobil di depanmu, apa sih yang kamu fikirkan?”
Berlian menatap Kania lama, lalu menggeleng dengan pelan. Kania menghela nafas panjang, usai melihat kejadian yang hampir menghilangkan nyawa temannya itu.
“Kalau nyawamu hilang di depanku aku bisa terkenal dalam satu jam karena menjadi saksi kecelakaan bodoh”, gerutu Kania seraya berjalan mendahului Berlian.


Berlian kembali melangkahkan kakinya berusaha menghiraukan tatapan orang-orang di sekitar mereka. Berlian menatap ponselnya yang berdering, dari Bunda. Pasti Bunda akan mulai memberikan petuah tentang cowok yang akan dijadikan pasangan hidup Berlian.
Melihat banyak teman yang sudah menikah dan memiliki kekasih membuat Berlian ingin menerima tawaran dari Bundanya. Tapi di sisi lain Berlian masih ingin melanjutkan mimpinya ke negeri matahari terbit. Terutama mendengar dari cerita Bunda bahwa sang cowok pilihan Bunda adalah seorang guru. Sudah pasti Berlian menolak, kemungkinan besar usai menikah Berlian tidak memiliki kesempatan untuk kuliah dan bekerja lagi.
Dengan berat ia menjawab panggilan dari Bunda.
“Lili, kapan pulang? Kamu sudah enam bulan tidak pulang, tidak kangen dengan Bunda?”, tanya Bunda, Berlian menghela nafas panjang.
“Bunda, Lili di kelas, ada kuliah. Nanti Lili hubungi Bunda lagi”, panggilan terputus.
Berlian mengaktifkan mode getar di ponselnya dan menyimpannya di dalam tas. Berlian menghentikan langkahnya saat melihat Kania berhenti, dengan pelan Berlian menghampiri Kania dari sampingnya.
“Ada apa?”, tanya Berlian mengikuti arah pandang Kania.
Sebuah banner tepampang dengan jelas di depan mereka, informasi tentang seminar kesehatan reproduksi perempuan, Kania menarik ponselnya untuk mendaftar.
“Vincentia Vier Berlian, nomornya, alamat, selesai”, Berlian menatap Kania dengan bingung, Kania yang sadar akan tatapan Berlian langsung menoleh dan tersenyum tanpa dosa, “Kamu harus ikut juga, aku sudah mendaftarkan namamu”
“Kania, selalu! Kamu selalu sesuka hatimu sendiri mengajakku ke acara seperti itu”, keluh Berlian dengan wajah kesal dan kembali berjalan menuju kelas.
       Tumpukan berkas, laptop yang masih menyala terang menampilkan microsoft word dengan huruf-huruf yang berbaris rapi. Segelas kopi susu menjadi satu-satunya teman untuk bertahan malam ini. Suasana sepi, hanya ada suara keyboard saat di tekan, dan suara kertas di balik, serta sesekali suara resapan kopi yang saat ini sudah dingin.
“Mas Richard? Masih disini?”, Richard menghentikan aksinya menekan tombol di keyboard dan menoleh kearah sumber suara, “Besok kita harus on time, sebaiknya kamu istirahat. Kamu terlalu berusaha dengan desertasimu”
Kemal membanting tubuhnya di sofa dan menyalakan televisi dari remote control, Richard langsung bangkit, meraih remote control dari tangan Kemal dan kembali mematikan layar televisi.
“Buruan pulang gih, aku masih harus menyelesaikan ini”, usir Richard, Kemal menggeleng dengan penuh kesungguhan, “Aku bisa on time kok. Lagipula acaranya jam sepuluh kan? Masih ada waktu untuk istirahat pagi nanti selama perjalanan ke Surabaya”
“Terserah kamu, ingat, ini event penting untuk kita”, Kemal bangkit lalu keluar dari ruang belajar Richard di rumah sakit.
Event penting? Mungkin bagi beberapa orang ini adalah event penting, tapi bagi Richard yang penting adalah besok ia harus mengumpulkan desertasinya.
Sebagai seorang dokter Richard lebih sering menghabiskan waktunya di rumah sakit, untuk bekerja dan untuk belajar. Apartemen tempatnya tinggal hanya sebagai tempat untuk berkunjung saat membuntuhkan sesuatu. Sudah hampir tiga tahun Richard bekerja di rumah sakit dan belajar untuk strata dua yang semakin menyita waktunya.
Sosok dokter yang dikenal penuh dengan kharisma setiap langkah kakinya selalu menomorduakan kepentingan pribadi. Kecuali satu hal yaitu desertasinya. Esok hari, jadwal untuk menemani professornya mengisi sebuah seminar kesehatan reproduksi perempuan kembali menunggu seperti beberapa bulan lalu. Meskipun acara seminar akan dilakukan di luar kota bagi Richard itu bukan poin penting, selama ini track record Richard adalah seorang dokter yang tidak pernah telat.
Layar laptop perlahan meredup pertanda baterai sudah menipis, dengan yakin Richard menyimpan dokumennya lalu menon-aktifkan laptop. Laptop yang sudah masuk dalam tas dengan rapi ia bawa keluar ruangan.
Richard memilih untuk pulang ke apartemen daripada bermalam di rumah sakit seperti yang biasa ia lakukan.
       Pagi kembali menyambut, Richard sudah berdandan rapi seperti biasa. Mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru muda, celana dan sepatu warna hitam, tak lupa jas prakteknya yang tersampir dengan indah di koper. Kemal berjalan setengah berlari menghampiri Richard yang berjalan kearahnya.
“Siapa yang telat?”, tanya Richard, Kemal memasang wajah tidak bersalah seraya menarik koper Richard untuk di bawa ke mobil.
Selama perjalanan menuju surabaya, seperti yang diucapkan semalam, Richard benar-benar tidur dengan lelap. Kemal hanya menghela nafas melihat seniornya itu. Satu tahun mengenal Richard, tidak pernah menyurutkan rasa kagum Kemal terhadapnya. Kemal menarik dokumen dan memastikan apa yang dibutuhkan sudah beres.
“Bertemu professor itu, membuatku merinding”, gerutu Kemal saat menutup dokumen di tangannya.
“Kenapa dengan dia? Dia cantik kan? Kamu tidak suka?”, tanya Richard yang mendengar keluhan Kemal, Kemal langsung memalingkan muka. Merasa malu ucapannya di dengar oleh Richard.
Mungkin hampir semua dokter di Indonesia pernah mendengar nama professor Dyah yang hampir setiap waktu iklan kesehatannya nongol di layar televisi. Professor yang tidak pernah berhenti untuk memberikan pengetahuan tentang pentingnya kesehatan reproduksi perempuan. Hampir setiap tahun ia menkontribusikan dirinya sendiri untuk mengadakan seminar kesehatan di lembaga pendidikan, dengan sponsor departemen kesehatan negara.
Sesampai di kampus, tempat seminar diadakan, Richard langsung menemui Professor Dyah di ruangan yang disediakan oleh kampus.
Sebuah ruangan berukuran dua kali tiga, dengan satu meja persegi panjang, lalu sofa berwarna coklat kayu bertengger di kedua sisi meja kaca. Professor Dyah duduk di salah satu sofa dengan tablet di tangannya. Sibuk menghubungi suaminya.
“Aku memintamu membawa orang lain, sekarang dimana dia?”, tanya Professor Dyah yang melihat Richard datang sendiri ke ruangan. Richard menoleh kebelakang menyadari Kemal tertinggal entah dimana.
“Ada Kemal yang membantu, dan seperti biasa harus ada cewek, jadi aku membawa Fitri ikut sepertinya masih dalam perjalanan, dia menolak datang bersama denganku dan Kemal” jelas Richard penuh kepastian, Professor Dyah mengangguk pelan.
“Begini Richard, mendadak saya harus pergi karena ada hal lain yang harus saya tangani selain disini. Sepuluh menit lagi, suami saya datang menjemput. Jadi semua kamu yang tangani, kamu paling senior dari semua, jangan kecewakan saya!”, Professor Dyah bangkit memastikan keperluannya sudah beres.
Kemal dan Fitri masuk ruangan dengan wajah sumringah seperti biasa. Richard hanya diam memandang kepergian Professor Dyah usai menjelaskan perubahan rencana mereka. Mungkin kesempatan untuk memiliki primadona seperti Professor Dyah hanyalah mimpi yang tak pernah berujung, pikir Richard disambut dengan helaan nafas yang panjang.

0 comments:

Post a Comment