Bukan hal baru bagi seorang Berlian tidak memiliki kekasih,
semenjak ia berumur enam belas tahun hingga dua puluh tidak sedikit record
cowok yang pernah bersanding dengannya. Silih berganti cowok yang datang dalam
hidupnya, memberikan jarak waktu sendiri yang cukup lama, tapi untuk kali ini
Berlian tidak bisa tinggal diam saja melihat semua temannya memiliki kekasih
bahkan ada yang menikah. Sebersit iri muncul dalam benak Berlian namun di sisi
lain ia tidak bisa menghentikan mimpi yang sudah ia simpan selama ini.
Berlian menatap lagi wajahnya di kaca. Wajah mungil yang
selalu membuat orang senang karena senyum cantiknya. Berlian menghela nafas
panjang.
“Lili, ayo buruan!”, seru Kania teman satu asrama
Berlian, Berlian bangkit dan keluar dari kamar, Kania sudah siap dengan tas dan
buku-buku tebalnya, Berlian menarik tas kecil di atas tempat tidur lalu keluar
dari kamar.
Banyak hal yang dirasa tidak tepat bagi Berlian tapi
membawa banyak keberuntungan di akhir cerita. Pertama adalah asrama, tinggal di
asrama adalah pilihan yang kurang tepat bagi Berlian, sebenanrnya ia ingin kos,
tapi dilarang oleh orang tuanya. Bagi Berlian larangan bukan sesuatu yang
menakutkan lagi, semenjak ia keluar dari rumah yang seperti penjara. Bayangan
tinggal di asrama yang seolah menjadi penjara kedua sudah hilang. Sebab banyak
hal yang ia temui selama tinggal di asrama.
Kedua adalah jurusan, antropologi. Dengan latar belakang
anak sosial memilih jurusan antropologi seperti memilih jodoh yang salah. Tapi
setelah dua tahun kuliah di jurusan tersebut, Berlian mulai menemukan siapa
dirinya dan apa yang harus dia lakukan untuk masa depan. Kuliah yang sejak awal
semester hingga saat ini mendapat nilai buruk, mulai hilang. Berlian semakin
giat belajar dan mendapatkan nilai yang memuaskan baginya.
“Lili!”, Berlian menoleh mendengar seruan Kania dan
sebuah tarikan di tangannya, “Ada mobil di depanmu, apa sih yang kamu
fikirkan?”
Berlian menatap Kania lama, lalu menggeleng dengan pelan.
Kania menghela nafas panjang, usai melihat kejadian yang hampir menghilangkan
nyawa temannya itu.
“Kalau nyawamu hilang di depanku aku bisa terkenal dalam
satu jam karena menjadi saksi kecelakaan bodoh”, gerutu Kania seraya berjalan
mendahului Berlian.
Berlian kembali melangkahkan kakinya berusaha
menghiraukan tatapan orang-orang di sekitar mereka. Berlian menatap ponselnya
yang berdering, dari Bunda. Pasti Bunda akan mulai memberikan petuah tentang
cowok yang akan dijadikan pasangan hidup Berlian.
Melihat banyak teman yang sudah menikah dan
memiliki kekasih membuat Berlian ingin menerima tawaran dari Bundanya. Tapi di
sisi lain Berlian masih ingin melanjutkan mimpinya ke negeri matahari terbit.
Terutama mendengar dari cerita Bunda bahwa sang cowok pilihan Bunda adalah
seorang guru. Sudah pasti Berlian menolak, kemungkinan besar usai menikah
Berlian tidak memiliki kesempatan untuk kuliah dan bekerja lagi.
Dengan berat ia menjawab panggilan dari Bunda.
“Lili, kapan pulang? Kamu sudah enam bulan
tidak pulang, tidak kangen dengan Bunda?”, tanya Bunda, Berlian menghela nafas
panjang.
“Bunda, Lili di kelas, ada kuliah. Nanti Lili
hubungi Bunda lagi”, panggilan terputus.
Berlian mengaktifkan mode getar di ponselnya
dan menyimpannya di dalam tas. Berlian menghentikan langkahnya saat melihat
Kania berhenti, dengan pelan Berlian menghampiri Kania dari sampingnya.
“Ada apa?”, tanya Berlian mengikuti arah
pandang Kania.
Sebuah banner tepampang dengan jelas di depan
mereka, informasi tentang seminar kesehatan reproduksi perempuan, Kania menarik
ponselnya untuk mendaftar.
“Vincentia Vier Berlian, nomornya, alamat,
selesai”, Berlian menatap Kania dengan bingung, Kania yang sadar akan tatapan
Berlian langsung menoleh dan tersenyum tanpa dosa, “Kamu harus ikut juga, aku
sudah mendaftarkan namamu”
“Kania, selalu! Kamu selalu sesuka hatimu
sendiri mengajakku ke acara seperti itu”, keluh Berlian dengan wajah kesal dan
kembali berjalan menuju kelas.
Tumpukan
berkas, laptop yang masih menyala terang menampilkan microsoft word dengan
huruf-huruf yang berbaris rapi. Segelas kopi susu menjadi satu-satunya teman
untuk bertahan malam ini. Suasana sepi, hanya ada suara keyboard saat di tekan,
dan suara kertas di balik, serta sesekali suara resapan kopi yang saat ini
sudah dingin.
“Mas Richard? Masih disini?”, Richard
menghentikan aksinya menekan tombol di keyboard dan menoleh kearah sumber
suara, “Besok kita harus on time, sebaiknya kamu istirahat. Kamu terlalu
berusaha dengan desertasimu”
Kemal membanting tubuhnya di sofa dan
menyalakan televisi dari remote control, Richard langsung bangkit, meraih
remote control dari tangan Kemal dan kembali mematikan layar televisi.
“Buruan pulang gih, aku masih harus
menyelesaikan ini”, usir Richard, Kemal menggeleng dengan penuh kesungguhan,
“Aku bisa on time kok. Lagipula acaranya jam sepuluh kan? Masih ada waktu untuk
istirahat pagi nanti selama perjalanan ke Surabaya”
“Terserah kamu, ingat, ini event penting untuk
kita”, Kemal bangkit lalu keluar dari ruang belajar Richard di rumah sakit.
Event penting? Mungkin bagi beberapa orang ini
adalah event penting, tapi bagi Richard yang penting adalah besok ia harus
mengumpulkan desertasinya.
Sebagai seorang dokter Richard lebih sering
menghabiskan waktunya di rumah sakit, untuk bekerja dan untuk belajar.
Apartemen tempatnya tinggal hanya sebagai tempat untuk berkunjung saat
membuntuhkan sesuatu. Sudah hampir tiga tahun Richard bekerja di rumah sakit
dan belajar untuk strata dua yang semakin menyita waktunya.
Sosok dokter yang dikenal penuh dengan
kharisma setiap langkah kakinya selalu menomorduakan kepentingan pribadi.
Kecuali satu hal yaitu desertasinya. Esok hari, jadwal untuk menemani
professornya mengisi sebuah seminar kesehatan reproduksi perempuan kembali
menunggu seperti beberapa bulan lalu. Meskipun acara seminar akan dilakukan di
luar kota bagi Richard itu bukan poin penting, selama ini track record Richard
adalah seorang dokter yang tidak pernah telat.
Layar laptop perlahan meredup pertanda baterai
sudah menipis, dengan yakin Richard menyimpan dokumennya lalu menon-aktifkan
laptop. Laptop yang sudah masuk dalam tas dengan rapi ia bawa keluar ruangan.
Richard memilih untuk pulang ke apartemen
daripada bermalam di rumah sakit seperti yang biasa ia lakukan.
Pagi
kembali menyambut, Richard sudah berdandan rapi seperti biasa. Mengenakan
kemeja lengan panjang berwarna biru muda, celana dan sepatu warna hitam, tak
lupa jas prakteknya yang tersampir dengan indah di koper. Kemal berjalan
setengah berlari menghampiri Richard yang berjalan kearahnya.
“Siapa yang telat?”, tanya Richard, Kemal
memasang wajah tidak bersalah seraya menarik koper Richard untuk di bawa ke
mobil.
Selama perjalanan menuju surabaya, seperti
yang diucapkan semalam, Richard benar-benar tidur dengan lelap. Kemal hanya
menghela nafas melihat seniornya itu. Satu tahun mengenal Richard, tidak pernah
menyurutkan rasa kagum Kemal terhadapnya. Kemal menarik dokumen dan memastikan
apa yang dibutuhkan sudah beres.
“Bertemu professor itu, membuatku merinding”,
gerutu Kemal saat menutup dokumen di tangannya.
“Kenapa dengan dia? Dia cantik kan? Kamu tidak
suka?”, tanya Richard yang mendengar keluhan Kemal, Kemal langsung memalingkan
muka. Merasa malu ucapannya di dengar oleh Richard.
Mungkin hampir semua dokter di Indonesia
pernah mendengar nama professor Dyah yang hampir setiap waktu iklan kesehatannya
nongol di layar televisi. Professor yang tidak pernah berhenti untuk memberikan
pengetahuan tentang pentingnya kesehatan reproduksi perempuan. Hampir setiap
tahun ia menkontribusikan dirinya sendiri untuk mengadakan seminar kesehatan di
lembaga pendidikan, dengan sponsor departemen kesehatan negara.
Sesampai di kampus, tempat seminar diadakan,
Richard langsung menemui Professor Dyah di ruangan yang disediakan oleh kampus.
Sebuah ruangan berukuran dua kali tiga, dengan
satu meja persegi panjang, lalu sofa berwarna coklat kayu bertengger di kedua
sisi meja kaca. Professor Dyah duduk di salah satu sofa dengan tablet di
tangannya. Sibuk menghubungi suaminya.
“Aku memintamu membawa orang lain, sekarang
dimana dia?”, tanya Professor Dyah yang melihat Richard datang sendiri ke
ruangan. Richard menoleh kebelakang menyadari Kemal tertinggal entah dimana.
“Ada Kemal yang membantu, dan seperti biasa harus
ada cewek, jadi aku membawa Fitri ikut sepertinya masih dalam perjalanan, dia
menolak datang bersama denganku dan Kemal” jelas Richard penuh kepastian,
Professor Dyah mengangguk pelan.
“Begini Richard, mendadak saya harus pergi
karena ada hal lain yang harus saya tangani selain disini. Sepuluh menit lagi,
suami saya datang menjemput. Jadi semua kamu yang tangani, kamu paling senior
dari semua, jangan kecewakan saya!”, Professor Dyah bangkit memastikan
keperluannya sudah beres.
Kemal
dan Fitri masuk ruangan dengan wajah sumringah seperti biasa. Richard hanya
diam memandang kepergian Professor Dyah usai menjelaskan perubahan rencana
mereka. Mungkin kesempatan untuk memiliki primadona seperti Professor Dyah
hanyalah mimpi yang tak pernah berujung, pikir Richard disambut dengan helaan
nafas yang panjang.
0 comments:
Post a Comment