Suasana
hiruk pikuk sekolah, selalu terjadi dalam tiga waktu, pagi hari sebelum bel
masuk, siang hari saat istirahat, dan siang hari saat pulang sekolah. Selalu
penuh dengan tawa seolah mereka hanya bisa berteriak lantang dia tiga waktu
tersebut.
Langkah kaki kecil yang sama sekali tidak mempedulikan
suasana, keluar dari kelas, matanya menatap malas keseluruh arah lalu kembali
berjalan keluar sekolah. Mobil jemputan anak satu sekolah sudah memenuhi area
parkir mobil orang tua. Sosok itu hanya menghela nafas, sebab hari ini tidak
ada yang akan menjemputnya pulang, karena ia masih malas kerumah, dia hanya
menatap ponsel tanpa menghubungi sopirnya untuk menjemput.
“Menunggu jemputan?”, tanya seseorang, ia menoleh pelan.
Tapi tak satu patah katapun keluar saat melihat sosok di depannya. Pangeran
tampan dengan jaket jeans yang melekat di tubunya, kacamata kecil memberikan
kesan dia sangat jenius, senyum yang tidak mungkin dimiliki oleh siapapun
kecuali dalam mimpi. “Menunggu jemputan?”, tanyanya lagi pada gadis yang
terpaku di depannya.
“Ah, Iya menunggu jemputan!”, jawabnya bohong, ia masih
terpaku melihat sosok pangeran di depannya.
“Cha, Mama sudah memanggilmu sedari tadi, buruan masuk mobil!”,
gadis itu menoleh, sadar mobil keluarganya sudah bertengger di depannya, ia
melihat kearah mobil dan pangeran tampan bergantian, “Menunggu siapa Cha!”,
tegur suara di mobil
“Iya Ma, Cha pulang!”, sahut sang gadis dan masuk ke
dalam mobil dengan kesal.
“Cha belum menghubungi pak Suryo, kenapa sudah datang
menjemput?!”, gerutunya, wajahnya hanya menatap hampa keluar jendel mobil.
Berharap waktu berhenti dan dia bisa menghampiri sang pangeran untuk
berkenalan, ia menggerutu pelan sadar tidak mungkin waktu akan berhenti, hanya
jam ditangannya yang akan mati meski dia berusaha.
“Kamu sekolah disana memang baru dua bulan, tapi apa itu
artinya Pak Suryo tidak tahu jadwalmu pulang sekolah? Dan disini Mama yang
meminta Pak Suryo untuk menjemputmu sekaligus mengantar Mama ke kantor!”
“Mama ke kantor di jam sekarang? Ada apa Ma?”, herannya,
sebab selama ini sang Mama selalu berangkat pagi ke kantor, atau tidak
berangkat sama sekali untuk menghabiskan waktu di salah satu butik yang
ditangani Mama selama sepuluh tahun.
“Ada perlu dengan seseorang. Papa meminta Mama datang ke
kantor!”, jawab Mamanya.
Gadis bernama Cecilia Esterina tersebut hanya mendengus
pelan. Menatap Mamanya yang selama bertahun-tahun tinggal bersamanya hanya
berdua, karena Kakaknya sedang belajar di luar negeri bersama Papanya yang
harus dipndahtugaskan keluar negeri semenjak jabatan Papanya naik menjadi duta
besar Indonesia di Amerika. Perusahaan yang dikelola Mamanya dari Kakek dan
Neneknya semakin melejit, meskipun sang direktur lebih suka menyibukkan dirinya
di butik.
Usai mengantar Mamanya ke kantor, pak Suryo kembali
melajukan mobilnya untuk pulang kerumah. Sesampai di rumah, Cecilia langsung
berlari menuju taman di samping rumah, disana ada pohon rindang yang sudah
bertumbuh sebelum ia lahir hingga ia sudah berumur lima belas tahun. Di salah
satu cabang pohon, Papanya membangun rumah pohon yang cukup besar, dan selalu
digunakan Cecilia sebagai tempat belajar bersama Kakaknya sejak mereka berdua
sekolah. Karena sang Kakak sudah melancong ke negeri Paman Sam, rumah pohon itu
kini menjadi miliknya seorang.
“Mbak Cha, makan siang diatas apa dirumah?”, tanya
pelayan dirumah mereka, Bi Lusi. Cha adalah nama kecil Cecilia, keluarga mereka
memanggil Cecil seperti itu. Mendengar namanya dipanggil, Cecilia mendongakkan
kepala dan melihat kearah bawah, Bi Lusi sudah berdiri dengan nampan makan
siangnya.
“Antar keatas saja Bi, terima kasih!”, jawab Cha senang,
ia menarik salah satu buku di dalam tasnya dan mulai belajar.
Matahari sudah mulai menyembunyikan wajahnya, Cecil
meregangkan tubuh yang sedari tadi berbaring membaca buku. Ia melihat kearah
rumahnya sekilas lalu merapikan bukunya dan memasukkannya kedalam tas.
“Cha, sudah sore, sampai kapan kamu akan dirumah itu?”,
seru Mamanya dari balkon kamar lantai dua, Cecilia hanya tersenyum kecil,
melihat Mamanya.
“Cha sudah selesai belajar Ma, sekarang turun!”, jawab
Cecilia seraya menutup jendela rumah pohon lalu menuruni tangga dengan pelan.
“Nampannya tidak dibawa Mbak?”, tanya Bi Lusi
menghentikan langkah kaki Cecil, Cecil langsung tersenyum kecil merasa tak
bersalah
“Maaf Bi, lupa. Tolong ya
Bi ambil sendiri, terima kasih!”, jawab Cecil, kembali melanjutkan jalan
menuju kamarnya di lantai dua.
Cecil membuka matanya perlahan, senyumnya masih
terkembang jelas. Dia bermimpi bertemu dengan Pangeran yang ia temui di sekolah
kemarin. Pertama kali dalam hidupnya ia memimpikan seorang cowok selain Kakak
dan Papanya. Cecil adalah sosok gadis yang tidak mudah dekat dengan kaum
berjenis kelamin laki-laki. Ia berfikir kalau masih terlalu kecil untuk
mengenal mereka dan dekat dengan mereka. Jadi setiap anak yang mendekatinya
selalu berakhir dengan kecewa karena sang Putri tidak ingin menjalin hubungan
dengan siapapun, dan selama ini pun, ini adalah pertama kalinya Cecilia
menyukai seorang cowok. Jam kukuknya berbunyi, Cecil menoleh kearah jam kukuk
dengan senyum
“Aku bangun lebih dulu!”, ucapnya seraya menekan tombol
diatas jam kukuk dan bangkit. Rutinitas yang tak pernah ia lewatkan,
menghabiskan air minum dalam gelas di meja kamarnya, membuka jendela kamar,
menyalakan lampu utama serta mematikan lampu tidurnya dan merapikan tempat
tidur. Setelah semua rutinitas ia lakukan, barulah ia bergegas menuju kamar
mandi.
Dirumah mereka, sarapan dan makan malam harus dilakukan
bersama-sama di ruang makan. Hal kecil yang menunjukkan adanya kehidupan dan
keluarga yang harmonis, dibalik kesibukan tiap anggota keluarganya. Meskipun
seperti itu, Cecilia adalah anak bungsu yang terkenal manja, ia selalu
mencurahkan apapun masalah dalam kehidupannya kepada Mama atau Papanya, bahkan
Kakaknya. Hal yang tak pernah ia lewatkan adalah, selalu merengek manja untuk
dibelikan merchandise beruang. Dan setelah lima belas tahun, rumahnya terlihat
seperti rumah kolektor beruang. Semuanya di setting dengan beruang, beruntung
anggota keluarga mereka yang lain menerima apapun keinginan gila sang bungsu
bahkan untuk ruang tamu tak luput dari beruang.
“Ada apa sayang? Wajahmu terlihat sangat senang?”, tanya
Mama, Cecilia hanya tersenyum kecil, dan mulai sarapan.
Usai sarapan, seperti biasa berangkat sekolah diantar
oleh pak Suryo. Sesampai disekolah, Cecil diam cukup lama di tempat parkir
orang tua yang mengantar dan menjemput anak mereka.
“Menunggu siapa Cil?”, tanya seseorang Cecil menoleh,
Fara, sahabat karibnya sejak smp menghampirinya
“Tidak ada, hanya teringat sesuatu!”, jawab Cecil ringan,
lalu mengajak Fara menuju kelas.
“Ah, aku mimpi buruk semalam, kamu tahu dalam mimpiku
kamu meninggal!”, cerita Fara, Cecil langsung bergidik ngeri mendengarnya
“Jangan memimpikan seseorang begitu buruk, membuatku
takut!”, gerutu Cecil kesal, mimpi indahnya semalam pecah ketika mendengar
mimpi Fara.
“Tapi, dalam filosofi orang Jawa, mimpi itu menunjukkan
kalau kamu akan panjang umur, seharusnya kamu senang!”, sahut Fara, Cecil
menatap Fara tidak percaya, “Aku serius!”
“Lalu? Kenapa hal itu menjadi mimpi buruk untukmu?”,
heran Cecil, Fara tertawa kecil
“Memang, tapi membayangkan kamu meninggalkan aku, itu
buruk Cecilia! Kita sahabat kan’?”, tanya Fara seraya menatap mata Cecilia,
Cecil mengangguk dengan pasti
“Untuk apa bertanya hal seperti itu, sudah pasti kita
sahabat, selalu sahabat! By the way! Kamu tidak kembali ke kelasmu? Sepuluh
menit lagi kelas dimulai!”, tegur Cecil, Fara menatap jam tangannya lalu
bangkit dan meninggalkan kelas Cecil menuju kelasnya.
Wajah itu masih muram, menatap hampa keluar
kelas. Mengingat sosok yang kemarin dia temui, apakah halusinasi? Ataukah dia
memang benar-benar ada? Tidak mungkin di dunia ini ada orang yang sangat mirip
seperti itu, apalagi di sekolah yang sama. Pikirnya seraya menggelengkan kepala
berkali-kali.
“Kenapa denganmu?”, tanya teman sebangkunya, ia kembali
menggelengkan kepala. “Untuk bahan pelatihan kita selama seminggu!”
“Aku ingin melewati pelatihan ini!”, gerutunya seraya
membuka apa yang harus dipelajarinya selama pelatihan menjadi arsitektur.
“Kenapa? Kamu tidak senang? Disana kita akan bertemu
dengan banyak gadis cantik! Percayalah!”, hibur temannya
“Mana mungkin Deris memikirkan hal seperti itu!”, Deris
mengangkat tangan setuju dengan ucapan temannya lalu menutup bahan pelatihan
yang ia baca sekilas.
“Kudengar, usai pelatihan ini, kita akan melakukan
pelatihan lagi selama sebulan di awal semester depan!”, Niko angkat bicara,
Deris langsung berdiri tidak percaya
“Kenapa aku tidak tahu?”, heran Deris seraya membuka
ponselnya dan melihat jadwal pelatihannya
“Kemarin sepulang sekolah kamu hilang kemana? Ada info
dari Pak Galang, bukankah sudah kukirim lewat email, tidak kamu cek?”, heran
Niko, Deris kembali duduk dan membuka email, lalu menghela nafas pelan.
“Kenapa semester ini dipenuhi dengan pelatihan, rambutku
bisa hilang semua!”, gerutu Deris, teman-temannya langsung menarik lengan Deris
dan memukulnya
“Jangan gila, dengan otakmu itu kamu bisa masuk kelas
akselerasi, kenapa menggerutu, kamu menggoda kita!”, ucap Kevin kesal. Deris
hanya tertawa kecil.
Bukan hal baru kalau Deris bisa menyelesaikan setiap
pelatihan dengan cepat dan dengan nilai sangat memuaskan. Sejak kecil Deris
jatuh cinta dengan dunia arsitek dan hingga menginjak kelas dua Sma, cintanya
terhadap dunia tersebut semakin bertambah.
Pulang sekolah, Deris masih berdiam diatas motornya,
bimbang antara pulang ke rumah atau pergi ke sekolah Nusa Bangsa. Akhirnya ia
mengendarai motornya pulang.
“Tidak mungkin dia ada, pasti hanya halusinasi!”, ucap
Deris dengan kesungguhan selama perjalanan pulang.
Sekolah Nusa Bangsa masih ramai dengan hiruk
pikuk anak sepulang sekolah. Cecilia melihat setiap anak yang pulang, tapi
tidak ada satupun yang membuatnya tersenyum, ia tak bisa bertemu dengan cowok
kemarin, dan itu membuat Cecilia kesal.
“Mbak Cha, menunggu siapa? sekolahnya sudah mau sepi!”,
tegur Pak Suryo, Cecil menghembuskan nafas kesal lalu masuk mobil yang sudah
terbuka semenjak Pak Suryo sampai di sekolah.
“Mama dirumah Pak?”, tanya Cecil, Pak Suryo mengangguk
dan tetap menatap lurus kedepan melihat jalanan yang penuh dengan kendaraan.
Sesampai dirumah, Cecil langsung masuk rumah tanpa
mengunjungi rumah pohonnya.
“Ada apa sayang? Tumben langsung masuk rumah?”, heran
Mama, Cecil langsung memeluk Mamanya yang sedang membaca majalah. “Hei,
kenapa?”
“Ma, Cha ingin bertemu dengan Kakak!”, ucap Cecil pelan.
“Kakak baru saja pulang bulan lalu, tidak bisa
terus-terusan pulang sayang, disana Kakak belajar bukan liburan!”, jawab
Mamanya, Cecil semakin membenamkan kepalanya.
“Mama tidak ingin mengajak Cha jalan-jalan?, Cha bosan
dirumah!”, tanya Cecil tanpa mengangkat wajahnya
“Nanti malam Mama ada rencana belanja, sebaiknya sekarang
kamu istirahat sayang!”, usul Mamanya, Cecil tetap tidak bergerak.
Malam
hari, selama belanja Cecil hanya mengkuti langkah kaki Mamanya tanpa belanja
sendiri. Ia hanya sibuk memainkan ponselnya.
“Apa yang kamu lakukan? Bukankah kamu ingin pergi dengan
Mama?”, heran Mama, Cecil hanya tersenyum kecil.
“Cha ingin menemani Mama, lagipula Cha ingin beli ice
cream saja kalau pulang!”, jawabnya ringan.
“Baiklah, tunggu Mama disini, Mama akan membelikan Cha
ice cream, setelah itu kita pulang!”, Cecil mengangguk dan duduk di salah satu
kursi, memasukkan ponselnya dan memegang kereta belanjaan Mamanya.
Deris menatap Cecil dari atas hingga bawah, dia
benar-benar nyata, bukan halusinasi belaka.
“Cha!”, seru Deris, Cecil terdiam mendengarnya, ia
mengitarkan pandangan memastikan bukan dirinya yang dipanggil sebab yang
memanggil dia dengan panggilan Cha hanya keluarganya saja. Hanya ada sosok
Deris yang berdiri tidak jauh darinya, seraya membenarkan posisi kacamatanya.
“Kamu memanggilku?”, tanya Cecil, Deris mengangguk dengan
pelan, lalu menghampiri Cecil
“Memangnya salah kalau aku memanggilmu?!”, heran Deris,
Cecil menggeleng dengan pelan.
“Namaku Cecil, kenapa memanggilku Cha?”, tanya Cecil,
Deris mengerutkan kening
“Mamamu memanggilmu Cacha, dan kamu menyebut dirimu juga
Cha!”, jawab Deris, Cecil tersenyum kecil.
“Itu nama kecilku, dan hanya keluargaku yang memanggilku
Cha bukan Cacha, nama kamu siapa?”, Cecil mengulurkan tangannya untuk
berkenalan.
“Deris, kalau aku memanggilmu Cacha boleh?”, Cecil
langsung mengangguk tanpa berfikir dua kali,
“Cha, Ini ice cream pesananmu! Teman kamu?”, tanya Mama,
Cecil mengangguk dengan pelan, “Mari kita pulang!”
“Cha pulang dulu, sampai bertemu lagi!”, ucap Cecil lalu
mengikuti langkah kaki Mamanya keluar dari pusat perbelanjaan.
“Kenapa dia memanggilmu Cha? Dia tidak tahu namamu
Cecilia?”, heran Mamanya dalam perjalanan pulang, Cecil mengangguk pelan.
“Tahu Ma, tapi mendengar Mama memanggil Cha seperti itu,
dia ingin memanggilku Cacha, apakah itu salah?”, heran Cecil, Mamanya tertawa
kecil lalu menggeleng.
“Tidak, merasa aneh saja, bukankah selama ini kamu yang
menolak dipanggil Cha oleh teman-temanmu dan selalu bilang, ‘untuk apa nama
Cecilia kalau pada akhirnya dipanggil Cha’, iya kan’?”, tebak Mamanya Cecil
mengangguk pelan, “Kamu tidak tahu kan alasan Mama, Papa dan Kakak memanggilmu
Cha?”
Cecil menggeleng dengan pasti,
“Itu karena waktu kamu kecil, kamu kesulitan menyebut
namamu sendiri, selalu menyebut Cha bukan Cecilia, dan menjadi kebiasaan
sekeluarga kamu dipanggil Cha!”, Cecil mengerutkan kening, untuk pertama
kalinya dia senang ada temannya yang memanggil dia Cha.
“Ma, kalau Cha punya pacar, boleh?”, seketika Mamanya
menghentikan mobil sejenak, lalu kembali berjalan.
“Cowok tadi? Apa karena itu kamu suka dipanggil Cha
olehnya?”, selidik Mamanya, Cecil menggeleng dengan cepat.
“Bukan Ma, Cha baru kenal tadi, kemarin kita bertemu di
sekolah, lalu tadi bertemu lagi, dan dia mengajak Cha kenalan. Cha hanya ingin
bertanya, bukankah selama ini Cha selalu dilarang dekat dengan cowok, pacaran,
dan semuanya!”, bantah Cecil.
“Itu karena kamu tidak suka dekat dengan cowok Cha,
Sewaktu kamu dengan Kakak masih sd, Kakak selalu harus menjagamu dari cowok
karena kmu tidak suka dengan mereka. Mama hanya tidak ingin Cha takut kalau
bersama mereka, Mama tdak melarang kamu punya pacar, tapi apa untungnya kamu
pacaran?”, tanya Mamanya, seraya membuka pintu mobil sebab sudah sampai
dirumah. Cecil menggeleng dengan pelan.
“Teman saja Mam, kalau ada teman dekat pasti senang, ada
tempat berbagi, tempat menangis dan semuanya!”, jawab Cecil, Mamanya menoleh
“Lalu? Bukankah selama ini Mama selalu ada untukmu,
menjadi tempat berbagimu, menjadi tempat menangis dan curhatmu! Apa sudah tidak
mau berbagi dengan Mama?!”, Cecil menggeleng lagi.
“Bukan itu Mama! Ah sudahlah Cha lelah!”, gerutu Cecil
dan masuk kamar. Melihat itu Mamanya tertawa kecil.
“Dia
mulai jatuh cinta, untuk pertama kali setelah selama ini bersikap dingin kepada
laki-laki”, gumam Mamanya, seulas senyum tergambar jelas di wajah sang Mama.
0 comments:
Post a Comment