Wednesday, November 12, 2014

Lovely Bear part 1_

            Suasana hiruk pikuk sekolah, selalu terjadi dalam tiga waktu, pagi hari sebelum bel masuk, siang hari saat istirahat, dan siang hari saat pulang sekolah. Selalu penuh dengan tawa seolah mereka hanya bisa berteriak lantang dia tiga waktu tersebut.
Langkah kaki kecil yang sama sekali tidak mempedulikan suasana, keluar dari kelas, matanya menatap malas keseluruh arah lalu kembali berjalan keluar sekolah. Mobil jemputan anak satu sekolah sudah memenuhi area parkir mobil orang tua. Sosok itu hanya menghela nafas, sebab hari ini tidak ada yang akan menjemputnya pulang, karena ia masih malas kerumah, dia hanya menatap ponsel tanpa menghubungi sopirnya untuk menjemput.
“Menunggu jemputan?”, tanya seseorang, ia menoleh pelan. Tapi tak satu patah katapun keluar saat melihat sosok di depannya. Pangeran tampan dengan jaket jeans yang melekat di tubunya, kacamata kecil memberikan kesan dia sangat jenius, senyum yang tidak mungkin dimiliki oleh siapapun kecuali dalam mimpi. “Menunggu jemputan?”, tanyanya lagi pada gadis yang terpaku di depannya.
“Ah, Iya menunggu jemputan!”, jawabnya bohong, ia masih terpaku melihat sosok pangeran di depannya.
“Cha, Mama sudah memanggilmu sedari tadi, buruan masuk mobil!”, gadis itu menoleh, sadar mobil keluarganya sudah bertengger di depannya, ia melihat kearah mobil dan pangeran tampan bergantian, “Menunggu siapa Cha!”, tegur suara di mobil
“Iya Ma, Cha pulang!”, sahut sang gadis dan masuk ke dalam mobil dengan kesal.
“Cha belum menghubungi pak Suryo, kenapa sudah datang menjemput?!”, gerutunya, wajahnya hanya menatap hampa keluar jendel mobil. Berharap waktu berhenti dan dia bisa menghampiri sang pangeran untuk berkenalan, ia menggerutu pelan sadar tidak mungkin waktu akan berhenti, hanya jam ditangannya yang akan mati meski dia berusaha.
“Kamu sekolah disana memang baru dua bulan, tapi apa itu artinya Pak Suryo tidak tahu jadwalmu pulang sekolah? Dan disini Mama yang meminta Pak Suryo untuk menjemputmu sekaligus mengantar Mama ke kantor!”
“Mama ke kantor di jam sekarang? Ada apa Ma?”, herannya, sebab selama ini sang Mama selalu berangkat pagi ke kantor, atau tidak berangkat sama sekali untuk menghabiskan waktu di salah satu butik yang ditangani Mama selama sepuluh tahun.
“Ada perlu dengan seseorang. Papa meminta Mama datang ke kantor!”, jawab Mamanya.
Gadis bernama Cecilia Esterina tersebut hanya mendengus pelan. Menatap Mamanya yang selama bertahun-tahun tinggal bersamanya hanya berdua, karena Kakaknya sedang belajar di luar negeri bersama Papanya yang harus dipndahtugaskan keluar negeri semenjak jabatan Papanya naik menjadi duta besar Indonesia di Amerika. Perusahaan yang dikelola Mamanya dari Kakek dan Neneknya semakin melejit, meskipun sang direktur lebih suka menyibukkan dirinya di butik.
Usai mengantar Mamanya ke kantor, pak Suryo kembali melajukan mobilnya untuk pulang kerumah. Sesampai di rumah, Cecilia langsung berlari menuju taman di samping rumah, disana ada pohon rindang yang sudah bertumbuh sebelum ia lahir hingga ia sudah berumur lima belas tahun. Di salah satu cabang pohon, Papanya membangun rumah pohon yang cukup besar, dan selalu digunakan Cecilia sebagai tempat belajar bersama Kakaknya sejak mereka berdua sekolah. Karena sang Kakak sudah melancong ke negeri Paman Sam, rumah pohon itu kini menjadi miliknya seorang.
“Mbak Cha, makan siang diatas apa dirumah?”, tanya pelayan dirumah mereka, Bi Lusi. Cha adalah nama kecil Cecilia, keluarga mereka memanggil Cecil seperti itu. Mendengar namanya dipanggil, Cecilia mendongakkan kepala dan melihat kearah bawah, Bi Lusi sudah berdiri dengan nampan makan siangnya.
“Antar keatas saja Bi, terima kasih!”, jawab Cha senang, ia menarik salah satu buku di dalam tasnya dan mulai belajar.
Matahari sudah mulai menyembunyikan wajahnya, Cecil meregangkan tubuh yang sedari tadi berbaring membaca buku. Ia melihat kearah rumahnya sekilas lalu merapikan bukunya dan memasukkannya kedalam tas.
“Cha, sudah sore, sampai kapan kamu akan dirumah itu?”, seru Mamanya dari balkon kamar lantai dua, Cecilia hanya tersenyum kecil, melihat Mamanya.
“Cha sudah selesai belajar Ma, sekarang turun!”, jawab Cecilia seraya menutup jendela rumah pohon lalu menuruni tangga dengan pelan.
“Nampannya tidak dibawa Mbak?”, tanya Bi Lusi menghentikan langkah kaki Cecil, Cecil langsung tersenyum kecil merasa tak bersalah
“Maaf Bi, lupa. Tolong ya  Bi ambil sendiri, terima kasih!”, jawab Cecil, kembali melanjutkan jalan menuju kamarnya di lantai dua.


Cecil membuka matanya perlahan, senyumnya masih terkembang jelas. Dia bermimpi bertemu dengan Pangeran yang ia temui di sekolah kemarin. Pertama kali dalam hidupnya ia memimpikan seorang cowok selain Kakak dan Papanya. Cecil adalah sosok gadis yang tidak mudah dekat dengan kaum berjenis kelamin laki-laki. Ia berfikir kalau masih terlalu kecil untuk mengenal mereka dan dekat dengan mereka. Jadi setiap anak yang mendekatinya selalu berakhir dengan kecewa karena sang Putri tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun, dan selama ini pun, ini adalah pertama kalinya Cecilia menyukai seorang cowok. Jam kukuknya berbunyi, Cecil menoleh kearah jam kukuk dengan senyum
“Aku bangun lebih dulu!”, ucapnya seraya menekan tombol diatas jam kukuk dan bangkit. Rutinitas yang tak pernah ia lewatkan, menghabiskan air minum dalam gelas di meja kamarnya, membuka jendela kamar, menyalakan lampu utama serta mematikan lampu tidurnya dan merapikan tempat tidur. Setelah semua rutinitas ia lakukan, barulah ia bergegas menuju kamar mandi.
Dirumah mereka, sarapan dan makan malam harus dilakukan bersama-sama di ruang makan. Hal kecil yang menunjukkan adanya kehidupan dan keluarga yang harmonis, dibalik kesibukan tiap anggota keluarganya. Meskipun seperti itu, Cecilia adalah anak bungsu yang terkenal manja, ia selalu mencurahkan apapun masalah dalam kehidupannya kepada Mama atau Papanya, bahkan Kakaknya. Hal yang tak pernah ia lewatkan adalah, selalu merengek manja untuk dibelikan merchandise beruang. Dan setelah lima belas tahun, rumahnya terlihat seperti rumah kolektor beruang. Semuanya di setting dengan beruang, beruntung anggota keluarga mereka yang lain menerima apapun keinginan gila sang bungsu bahkan untuk ruang tamu tak luput dari beruang.
“Ada apa sayang? Wajahmu terlihat sangat senang?”, tanya Mama, Cecilia hanya tersenyum kecil, dan mulai sarapan.
Usai sarapan, seperti biasa berangkat sekolah diantar oleh pak Suryo. Sesampai disekolah, Cecil diam cukup lama di tempat parkir orang tua yang mengantar dan menjemput anak mereka.
“Menunggu siapa Cil?”, tanya seseorang Cecil menoleh, Fara, sahabat karibnya sejak smp menghampirinya
“Tidak ada, hanya teringat sesuatu!”, jawab Cecil ringan, lalu mengajak Fara menuju kelas.
“Ah, aku mimpi buruk semalam, kamu tahu dalam mimpiku kamu meninggal!”, cerita Fara, Cecil langsung bergidik ngeri mendengarnya
“Jangan memimpikan seseorang begitu buruk, membuatku takut!”, gerutu Cecil kesal, mimpi indahnya semalam pecah ketika mendengar mimpi Fara.
“Tapi, dalam filosofi orang Jawa, mimpi itu menunjukkan kalau kamu akan panjang umur, seharusnya kamu senang!”, sahut Fara, Cecil menatap Fara tidak percaya, “Aku serius!”
“Lalu? Kenapa hal itu menjadi mimpi buruk untukmu?”, heran Cecil, Fara tertawa kecil
“Memang, tapi membayangkan kamu meninggalkan aku, itu buruk Cecilia! Kita sahabat kan’?”, tanya Fara seraya menatap mata Cecilia, Cecil mengangguk dengan pasti
“Untuk apa bertanya hal seperti itu, sudah pasti kita sahabat, selalu sahabat! By the way! Kamu tidak kembali ke kelasmu? Sepuluh menit lagi kelas dimulai!”, tegur Cecil, Fara menatap jam tangannya lalu bangkit dan meninggalkan kelas Cecil menuju kelasnya.
Wajah itu masih muram, menatap hampa keluar kelas. Mengingat sosok yang kemarin dia temui, apakah halusinasi? Ataukah dia memang benar-benar ada? Tidak mungkin di dunia ini ada orang yang sangat mirip seperti itu, apalagi di sekolah yang sama. Pikirnya seraya menggelengkan kepala berkali-kali.
“Kenapa denganmu?”, tanya teman sebangkunya, ia kembali menggelengkan kepala. “Untuk bahan pelatihan kita selama seminggu!”
“Aku ingin melewati pelatihan ini!”, gerutunya seraya membuka apa yang harus dipelajarinya selama pelatihan menjadi arsitektur.
“Kenapa? Kamu tidak senang? Disana kita akan bertemu dengan banyak gadis cantik! Percayalah!”, hibur temannya
“Mana mungkin Deris memikirkan hal seperti itu!”, Deris mengangkat tangan setuju dengan ucapan temannya lalu menutup bahan pelatihan yang ia baca sekilas.
“Kudengar, usai pelatihan ini, kita akan melakukan pelatihan lagi selama sebulan di awal semester depan!”, Niko angkat bicara, Deris langsung berdiri tidak percaya
“Kenapa aku tidak tahu?”, heran Deris seraya membuka ponselnya dan melihat jadwal pelatihannya
“Kemarin sepulang sekolah kamu hilang kemana? Ada info dari Pak Galang, bukankah sudah kukirim lewat email, tidak kamu cek?”, heran Niko, Deris kembali duduk dan membuka email, lalu menghela nafas pelan.
“Kenapa semester ini dipenuhi dengan pelatihan, rambutku bisa hilang semua!”, gerutu Deris, teman-temannya langsung menarik lengan Deris dan memukulnya
“Jangan gila, dengan otakmu itu kamu bisa masuk kelas akselerasi, kenapa menggerutu, kamu menggoda kita!”, ucap Kevin kesal. Deris hanya tertawa kecil.
Bukan hal baru kalau Deris bisa menyelesaikan setiap pelatihan dengan cepat dan dengan nilai sangat memuaskan. Sejak kecil Deris jatuh cinta dengan dunia arsitek dan hingga menginjak kelas dua Sma, cintanya terhadap dunia tersebut semakin bertambah.
Pulang sekolah, Deris masih berdiam diatas motornya, bimbang antara pulang ke rumah atau pergi ke sekolah Nusa Bangsa. Akhirnya ia mengendarai motornya pulang.
“Tidak mungkin dia ada, pasti hanya halusinasi!”, ucap Deris dengan kesungguhan selama perjalanan pulang.
Sekolah Nusa Bangsa masih ramai dengan hiruk pikuk anak sepulang sekolah. Cecilia melihat setiap anak yang pulang, tapi tidak ada satupun yang membuatnya tersenyum, ia tak bisa bertemu dengan cowok kemarin, dan itu membuat Cecilia kesal.
“Mbak Cha, menunggu siapa? sekolahnya sudah mau sepi!”, tegur Pak Suryo, Cecil menghembuskan nafas kesal lalu masuk mobil yang sudah terbuka semenjak Pak Suryo sampai di sekolah.
“Mama dirumah Pak?”, tanya Cecil, Pak Suryo mengangguk dan tetap menatap lurus kedepan melihat jalanan yang penuh dengan kendaraan.
Sesampai dirumah, Cecil langsung masuk rumah tanpa mengunjungi rumah pohonnya.
“Ada apa sayang? Tumben langsung masuk rumah?”, heran Mama, Cecil langsung memeluk Mamanya yang sedang membaca majalah. “Hei, kenapa?”
“Ma, Cha ingin bertemu dengan Kakak!”, ucap Cecil pelan.
“Kakak baru saja pulang bulan lalu, tidak bisa terus-terusan pulang sayang, disana Kakak belajar bukan liburan!”, jawab Mamanya, Cecil semakin membenamkan kepalanya.
“Mama tidak ingin mengajak Cha jalan-jalan?, Cha bosan dirumah!”, tanya Cecil tanpa mengangkat wajahnya
“Nanti malam Mama ada rencana belanja, sebaiknya sekarang kamu istirahat sayang!”, usul Mamanya, Cecil tetap tidak bergerak.
            Malam hari, selama belanja Cecil hanya mengkuti langkah kaki Mamanya tanpa belanja sendiri. Ia hanya sibuk memainkan ponselnya.
“Apa yang kamu lakukan? Bukankah kamu ingin pergi dengan Mama?”, heran Mama, Cecil hanya tersenyum kecil.
“Cha ingin menemani Mama, lagipula Cha ingin beli ice cream saja kalau pulang!”, jawabnya ringan.
“Baiklah, tunggu Mama disini, Mama akan membelikan Cha ice cream, setelah itu kita pulang!”, Cecil mengangguk dan duduk di salah satu kursi, memasukkan ponselnya dan memegang kereta belanjaan Mamanya.
Deris menatap Cecil dari atas hingga bawah, dia benar-benar nyata, bukan halusinasi belaka.
“Cha!”, seru Deris, Cecil terdiam mendengarnya, ia mengitarkan pandangan memastikan bukan dirinya yang dipanggil sebab yang memanggil dia dengan panggilan Cha hanya keluarganya saja. Hanya ada sosok Deris yang berdiri tidak jauh darinya, seraya membenarkan posisi kacamatanya.
“Kamu memanggilku?”, tanya Cecil, Deris mengangguk dengan pelan, lalu menghampiri Cecil
“Memangnya salah kalau aku memanggilmu?!”, heran Deris, Cecil menggeleng dengan pelan.
“Namaku Cecil, kenapa memanggilku Cha?”, tanya Cecil, Deris mengerutkan kening
“Mamamu memanggilmu Cacha, dan kamu menyebut dirimu juga Cha!”, jawab Deris, Cecil tersenyum kecil.
“Itu nama kecilku, dan hanya keluargaku yang memanggilku Cha bukan Cacha, nama kamu siapa?”, Cecil mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
“Deris, kalau aku memanggilmu Cacha boleh?”, Cecil langsung mengangguk tanpa berfikir dua kali,
“Cha, Ini ice cream pesananmu! Teman kamu?”, tanya Mama, Cecil mengangguk dengan pelan, “Mari kita pulang!”
“Cha pulang dulu, sampai bertemu lagi!”, ucap Cecil lalu mengikuti langkah kaki Mamanya keluar dari pusat perbelanjaan.
“Kenapa dia memanggilmu Cha? Dia tidak tahu namamu Cecilia?”, heran Mamanya dalam perjalanan pulang, Cecil mengangguk pelan.
“Tahu Ma, tapi mendengar Mama memanggil Cha seperti itu, dia ingin memanggilku Cacha, apakah itu salah?”, heran Cecil, Mamanya tertawa kecil lalu menggeleng.
“Tidak, merasa aneh saja, bukankah selama ini kamu yang menolak dipanggil Cha oleh teman-temanmu dan selalu bilang, ‘untuk apa nama Cecilia kalau pada akhirnya dipanggil Cha’, iya kan’?”, tebak Mamanya Cecil mengangguk pelan, “Kamu tidak tahu kan alasan Mama, Papa dan Kakak memanggilmu Cha?”
Cecil menggeleng dengan pasti,
“Itu karena waktu kamu kecil, kamu kesulitan menyebut namamu sendiri, selalu menyebut Cha bukan Cecilia, dan menjadi kebiasaan sekeluarga kamu dipanggil Cha!”, Cecil mengerutkan kening, untuk pertama kalinya dia senang ada temannya yang memanggil dia Cha.
“Ma, kalau Cha punya pacar, boleh?”, seketika Mamanya menghentikan mobil sejenak, lalu kembali berjalan.
“Cowok tadi? Apa karena itu kamu suka dipanggil Cha olehnya?”, selidik Mamanya, Cecil menggeleng dengan cepat.
“Bukan Ma, Cha baru kenal tadi, kemarin kita bertemu di sekolah, lalu tadi bertemu lagi, dan dia mengajak Cha kenalan. Cha hanya ingin bertanya, bukankah selama ini Cha selalu dilarang dekat dengan cowok, pacaran, dan semuanya!”, bantah Cecil.
“Itu karena kamu tidak suka dekat dengan cowok Cha, Sewaktu kamu dengan Kakak masih sd, Kakak selalu harus menjagamu dari cowok karena kmu tidak suka dengan mereka. Mama hanya tidak ingin Cha takut kalau bersama mereka, Mama tdak melarang kamu punya pacar, tapi apa untungnya kamu pacaran?”, tanya Mamanya, seraya membuka pintu mobil sebab sudah sampai dirumah. Cecil menggeleng dengan pelan.
“Teman saja Mam, kalau ada teman dekat pasti senang, ada tempat berbagi, tempat menangis dan semuanya!”, jawab Cecil, Mamanya menoleh
“Lalu? Bukankah selama ini Mama selalu ada untukmu, menjadi tempat berbagimu, menjadi tempat menangis dan curhatmu! Apa sudah tidak mau berbagi dengan Mama?!”, Cecil menggeleng lagi.
“Bukan itu Mama! Ah sudahlah Cha lelah!”, gerutu Cecil dan masuk kamar. Melihat itu Mamanya tertawa kecil.
“Dia mulai jatuh cinta, untuk pertama kali setelah selama ini bersikap dingin kepada laki-laki”, gumam Mamanya, seulas senyum tergambar jelas di wajah sang Mama.

0 comments:

Post a Comment